Faris Pasha Firdaus ( Janatun Firdaus )

Selasa, 26 Juni 2012

Rekonstruksi Mindset Pelaksanaan Ujian Nasional



Pelaksanaan Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh negara secara berjenjang di mulai dari Siswa Menengah Atas ( SMA ) diseluruh Indonesia dilaksanakan hari ini. Banyak kalangan yang mempersiapkan diri jauh – jauh hari dalam menyambut hajat pendidikan nasional tersebut. Mulai dari pihak sekolah, orang tua, siswa, hingga para pejabat yang sibuk menghitung taksiran anggaran yang harus dikeluarkan, serta berbagai strategi Menteri Pendidikan untuk menjaga semaksimal mungkin kesucian pelaksanaan UN dari berbagai kecurangan dan pelanggaran.

Fenomena diatas adalah sesuatu yang wajar, mengingat Ujian Nasional adalah kegiatan yang penting sebagai tolak ukur dan barometer pemerintah atas kelulusan dan kesuksesan seorang siswa secara kognitif dalam melaksanakan kegiatan belajar selama tiga tahun di sekolah. Pantas bila selama ini diskursus tentang Ujian Nasional selalu menuai pro dan kontra serta melahirkan debatable. Karena kebijakan Ujian Nasional ini dipandang mempunyai unsur ketidakadilan serta difahami pragmatis dalam menilai standar kelulusan pendidikan siswa, hingga dinilai telah melanggar Undang – Undang Pendidikan. Terlebih rencana Kemendikbud yang akan memasukan nilai UN sebagai syarat masuk PTN yang tentu akan lebih menambah beban berat diatas pundak siswanya.

Problematika Penyelenggaraan UN

Terlepas dari berbagai masalah yang selalu lahir dalam pelaksanaan Ujian Nasional, selama ini pelaksanaan UN masih saja tercoreng oleh berbagai macam pelanggaran. Tentu kita tak bisa menutup mata dan telinga terhadap fenomena UN pada tahun – tahun sebelumnya tentang bocornya soal hingga jual beli jawaban yang melibatkan siswa, guru, sekolah hingga penyelenggara UN sendiri. Menurut penulis tentu hal itu adalah sebuah kenistaan jika UN hanya menjadikan sistem pendidikan kita orientasinya berkutat pada formalitas kelulusan, tetapi menafikan kecerdasan, kejujuran serta kemampuan siswanya. Ujian Nasional sejatinya jangan dipersepsi secara sempit hanya untuk memperoleh formalitas kelulusan. Apalagi pihak sekolah hanya ingin mendapatkan pujian atau reward dari pemerintah bila semua siswanya lulus UN. Mengapa demikian ?

Sebab hal tersebut akan melahirkan tendensi budaya pragmatis dan instan dalam dunia pendidikan. Pada akhirnya, efek dari budaya pragmatis ini akan memproduksi sebuah mindset yang melegalkan segala cara walaupun itu melanggar kode etik pendidikan dan mengkotori kesucian moral bangsa. Jika sudah demikian, praktek praktek pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian Nasional akan menjadi sebuah klise yang akan selalu diputar setiap tahun secara kontinuitas. Hal ini jelas akan menambah catatan hitam negeri ini sekaligus tamparan keras bagi dunia pendidikan yang seharusnya menyemai benih kejujuran, membangun moral bangsa, mendidik budi pekerti serta mengasah keluhuran martabat ternyata telah bermetamorfosis menjadi penyebab dekadensi moral bangsa. Sungguh ironis !

Perlu Adanya Rekonstruksi Mindset

Untuk mengubah sesuatu yang sudah menjadi tradisi dan membudaya memang tak semudah apa yang kita pikirkan serta kita katakan bak membalikan sebuah telapak tangan. Masyarakat sunda sering menggambarkannya dalam sebuah adagium “ Adat Kakurung Ku iga “. Namun bukan berarti kita harus menjadi seorang pengecut yang menyatakan kalah sebelum bertanding atau menyerah sebelum adanya usaha. Tentu semua itu masih bisa dirubah selama adanya konvensi serta sikap koperatif antar semua pihak yang terlibat, baik pemerintah, guru, sekolah serta penyelenggara demi menjadikan UN suci dari setiap kecurangan dan bersih dimasa depan.

Sebab sampai saat ini, ketika pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir kecurangan serta menutup rapat – rapat pintu pelanggaran, disisi lain paradigma tentang image “ gengsi “ bila siswanya tidak lulus masih hidup serta mendarah daging dikalangan para penyelenggara sekolah. Oleh karena itu, kiranya penting untuk membangun kembali mindset serta paradigma semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan UN tersebut, sehingga bisa segaris lurus dan berjalan secara harmonis. Sudah saatnya pendidikan kita dibangun diatas pondasi kejujuran serta nilai – nilai akhlakul karimah.

Jadikan kejujuran ini cerminan karakter bangsa yang beragama. Jangan jadikan kejujuran sebagai barang mahal hingga tergolong langka dinegeri ini. Sudah cukup catatan hitam itu terus diukir dalam lembaran – lembaran kehidupan masa lalu. Apakah kita akan terus menjadikan generasi penerus bangsa sebagai generasi pecundang yang terus menghambur – hamburkan uang negara ? Lulus dalam Ujian Nasional memang penting dan berharga, namun bukan berarti akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya !

Tulisan ini di muat di Media Cetak Wawasan 24 April 2012

Read more »

Tentang Cinta Bahasa Indonesia


Perkembangan bahasa Indonesia belakangan ini memprihatinkan. Generasi muda semakin tidak peduli terhadap bahasa persatuan bangsa Indonesia itu. Akibatnya, banyak generasi muda yang tidak mengerti ejaan yang tepat maupun tata bahasa yang baik. Akibatnya, bahasa Indonesia terkesan menjadi bahasa yang rancu. Selain itu, rasa bangga terhadap bahasa asing yang terlalu tinggi juga menjadi salah satu faktor pengikis rasa cinta masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Itulah fenomena yang terjadi pada generasi muda sekarang. 

Tingkat apresisasi mahasiswa terhadap sastra Indonesia pun tergolong rendah. Padahal, bahasa Indonesia telah menjadi motor penggerak kemerdekaan. Sayang, setelah 66 tahun merdeka atau 83 tahun pascadeklarasi Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia belum mendapat tempat semestinya di negeri ini. Bahkan, dalam institusi formal, bahasa Indonesia belum dipakai maksimal. Banyak contoh pemimpin negeri ini lebih senang menggunakan bahasa asing, padahal istilah asing itu memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. Contohnya, kata political will yang sering dipakai presiden. 

Bahasa gaul Modernisasi kehidupan masyarakat tanpa kita sadari telah berdampak langsung terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Remaja Indonesia seakan lebih bangga bila menggunakan bahasa gaul dibandingkan memakai bahasa Indonesia sesuai tatanan pola bahasa. Orang lebih suka memakai bahasa Inggris karena merasa dianggap lebih keren, pintar, dan unggul. Dalam berkomunikasi dengan orang lain pada media Twitter, misalnya, orang lebih sering menggunakan kalimat disingkat-singkat daripada kalimat yang jelas dan baku. Mereka juga tak memperhatikan tata tulisan dan menggunakan istilah-istilah yang tidak dibenarkan dalam pola bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa gaul telah sampai pada kaum berpendidikan seperti mahasiswa. Apabila hal tersebut dibiarkan terus-menerus, akan banyak sarjana tak lagi memiliki kemampuan berbahasa Indonesia baik dan benar.

Sebagai penerus bangsa, kita mempunyai tanggung jawab besar untuk melestarikan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Aksi teatrikal Menyikapi kondisi tersebut, sekitar 70 mahasiswa dari berbagai fakultas di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, Semarang, yang tergabung dalam Laskar Bahasa (Forum Mahasiswa Bahasa Indonesia), November lalu mengadakan aksi damai Gerakan Cinta Bahasa Indonesia.

Peserta memulai aksi dari Balaikota Semarang, lalu berjalan kaki ke arah Simpang Lima dan berakhir di Kantor Gubernur Jawa Tengah. Mereka mengadakan aksi teatrikal. Salah satu peserta duduk di atas badan peserta lain yang menggambarkan bahasa Indonesia seakan terjajah oleh bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris). Peserta gerakan juga membagikan stiker bertulisan ”Aku Cinta Bahasa Indonesia” kepada pengguna kendaraan dan warga Kota Semarang yang lewat kawasan itu. Tujuan mahasiswa mendatangi instansi pemerintah adalah mengimbau agar pejabat lebih mencintai dan membiasakan berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kepada sesama mahasiswa, peserta aksi menyerukan agar dalam pergaulan kampus semaksimal mungkin tidak memakai bahasa gaul sebab bahasa gaul bukan cermin kepribadian masyarakat akademis.

Gerakan Cinta Bahasa Indonesia bertujuan menegaskan serta memantapkan kembali kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Ini juga merupakan salah satu langkah untuk menjaga kelestarian bahasa Indonesia. Generasi muda memiliki kekuatan untuk mempertahankan bahasa nasional melalui intelektualitas dan semangatnya. Diperlukan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa sehingga menumbuhkan rasa ingin mempertahankannya.

Rasa cinta itu bisa dimulai dari keikutsertaan masyarakat dalam ruang untuk apreasiasi bahasa Indonesia. Misalnya berupa puisi, artikel kebahasaan, ragam tulis maupun lisan lain dalam bahasa Indonesia yang dihadirkan Gerakan Cinta Bahasa Indonesia. Mungkin kita harus becermin kepada bangsa Perancis yang amat bangga menggunakan bahasa mereka dan berkeras menomorsatukan penggunaan bahasanya sendiri. Itu bisa membuat orang asing tertarik dan memaksa diri mempelajari bahasa Perancis. Membudayakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa pergaulan di tengah kencangnya arus modernisasi serta dunia pergaulan yang semakin tanpa batas, bukan sesuatu yang mudah. Tetapi setidaknya gerakan ini memancing rasa nasionalisme anak muda terhadap bahasa bangsanya sendiri.

Tulisan ini di muat di Media Cetak KOMPAS 27 Desember 2011
http://oase.kompas.com/read/2011/12/27/05084487/Tentang.Cinta.Bahasa.Indonesia

Read more »

Menaklukan MIPA dengan CINTA


Cinta bisa membuat orang menjadi gila, cinta mampu mengubah manusia menjadi pujangga, cinta sanggup menjadikan orang penakut menjadi pemberani & karena cinta lah yang telah mengantarkan aku menjadi orang yang mampu menaklukan MIPA. Ungkapan di atas merupakan gambaran mengenai sebuah novel dengan judul Aku, Kamu atau MIPA yang dikarang oleh N Kharisma Rosalina.

Dunia remaja memang selalu asik untuk ditulis, diceritakan, apalagi dengan alur kisah yang bisa membuat kita hanyut dalam hayalannya. Novel ini sangatlah unik, menarik serta mempunyai cita rasa serta greget yang berbeda ketika kita membacanya. Karena selain unik, novel cinta ini juga mengajarkan tentang proses mencintai salah satu mata pelajaran yang banyak menjadi momok menakutkan bagi para pelajar dalam dunia pendidikan. Sehingga, novel ini tidak sekadar novel remaja yang romantis namun juga sarat akan nilai–nilai pendidikannya.

Oleh karena itu novel ini tidak hanya cocok untuk kalangan muda, namun juga pas untuk para pendidik untuk mengajarkan materi yang bersifat eksak agar para muridnya lebih bisa menyukai serta memahami mata pelajaran tersebut. Karena tak bisa dipungkiri, banyak pelajar yang merasa menjadi musuh saat harus berhadapan dengan rumus hitung–hitungan matematika, fisika, dan kimia.

Selain itu, tak banyak penulis yang mengupas tentang phobia MIPA. Tapi penulis novel ini berhasil memadukan antara MIPA & Cinta. Kemudian di bumbuinya novel ini dengan konflik cinta yang rumit, kata–kata yang renyah, gaul slengekan khas anak muda, sehingga novel ini ringan dibaca tanpa kening berkerut. Jadilah novel ini menggelitik dan menyegarkan.

Tokoh yang ada dalam novel ini bernama Egy merupakan gambaran seorang cewek yang mempunyai jiwa serta semangat juang yang tinggi dalam menggapai semua cita–citanya, termasuk tantangan menaklukan mata pelajaran MIPA yang selama ini menjadi musuh bebuyutan dalam hidupnya. Dalam perjalanannya, Egi selalu dihadapkan dengan berbagai masalah yang datang silih berganti. Mulai dari masalah cinta, keluarga, saudara, teman hingga proses menaklukan MIPA tersebut.

Namun semuanya bisa terlewati dan berujung dengan manis dengan adanya suntikan energy cinta yang tak lain adalah guru privatnya Egy yang sudah menjuari Olimpiade MIPA Internasional. Novel ini menjadi luar biasa dengan adanya keseimbangan serta keteraturan dalam menyajikan drama konflik serta alur klimaksnya. Maklum, novel ini membutuhkan waktu tiga tahun dalam penentuan proses ending ceritanya. Sehingga pembaca akan merasa terpuaskan, setelah di awal dibawa kedalam rasa penasaran yang menggebu–gebu.

Resensi ini dimuat di OkeZone 23 Juni 2012
http://suar.okezone.com/read/2012/06/22/285/651720/menaklukan-mipa-dengan-cinta

Read more »

Wisuda dan Kegalauan Mahasiswa


Momen wisuda dan kelulusan menjadi saat yang sangat ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa, bahkan sehari setelah mereka dinyatakan diterima di universitas. Momentum wisuda memang menjadi daya tarik sekaligus sumber euforia yang emosional bagi mahasiswa, karena di saat itulah perjuangan bertahun-tahun diapresiasi, pergulatan akademis diganjar dengan penghargaan, dan decak kagum serta riuh rendah tepuk tangan milik kita seharian.

Tak jarang, momen kelulusan disambut secara meriah dan bahkan berlebihan, tidak hanya sebatas bentuk syukur namun juga pertarungan prestise keluarga. Maka jangan heran ketika tiba masanya kelulusan, keluarga di kampung menyambutnya dengan suka cita luar biasa, hewan ternak dan hasil panen dikorbankan untuk mengundang teman dan tetangga sekampung merayakan kelulusan satu orang dari universitas di kota. 

Memang sama sekali tidak salah menjadikan momen kelulusan sebagai hura-hura yang penuh suka cita. Namun ketika ditilik lebih cermat lagi, bukankah ketika universitas meluluskan mahasiswa, artinya bertambah pula beban bangsa Indonesia menampung pengangguran terbuka yang intelek? Data menunjukkan, pengangguran intelektual (terpelajar) di Indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun. Pada 2010 saja, pengangguran intelektual naik 15,71 persen dari tahun sebelumnya menjadi 1.142.751 orang, yang terdiri dari lulusan diploma 441.100 orang dan sarjana 701.651 orang. (Kompas, 23-9-2010).

Penyebabnya tidak lain adalah terbatasnya / semakin menurunnya daya serap sektor formal terhadap tenaga kerja dan ketidaksesuaian antara pendidikan formal serta kebutuhan pasar.

Ganti Status

Terkadang, momen kelulusan disambut pula dengan kegalauan si mahasiswa, mau ngapain sehabis lulus? Status mahasiswa terkadang memang memberikan banyak keuntungan, hidup masih ditanggung orang tua, fasilitas kampus dapat digunakan dengan leluasa, bahkan diskon makan hingga karaokean bertebaran. Tetapi setelah lulus, tentu saja fasilitas itu seperti tercerabut dari kita. Setelah topi toga tanda kelulusan dipakai, status mahasiswa tentu berganti, dan untuk sementara status yang terpaut adalah ”pengangguran” sebelum mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.

Paradigma yang berkembang selama ini di masyarakat adalah pendidikan tinggi merupakan institusi yang diyakini menjadi jembatan untuk melakukan mobilitas vertikal dan tiket menuju kehidupan yang lebih baik. Tak ayal, masyarakat umumnya menyekolahkan anaknya tinggiñtinggi sampai universitas adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih mentereng dan umumnya berseragam, seperti orangñorang kantoran dan para PNS.

Padahal lapangan pekerjaan di sektor formal umumnya tidak banyak bertambah dan cenderung statis dan berbanding terbalik dengan cetakan sarjana dari universitas yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Paradigma inilah yang seharusnya diubah, mahasiswa selain peranannya sebagai agent of change di mata masyarakat juga harus memiliki sensitivitas untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, mengubah perspektif dari mulanya job seeker menjadi job provider bagi lingkungan di sekitarnya.

Entrepreneur

Bukan lagi menjadi rahasia bahwa mahasiswa merupakan entitas masyarakat yang sangat kreatif, inovatif serta problem solver di lingkungannya, wirausaha menjadi pilihan yang amat tepat untuk memulai mengubah perspektif tersebut.

Telah banyak kasus sukses mahasiswa yang berhasil menjadi pengusaha yang beromzet hingga miliaran rupiah, bahkan sebelum mereka lulus dari perguruan tinggi. Mulai dari usaha laundry, susu murni bahkan hingga jajanan ”ndesa” ketela telah berubah menjadi sumber pundi ñ pundi pengahasilan bagi para pengusaha muda kreatif yang mampu melihat peluang dan pasar.

Hal tersebut kiranya cukup menjadi motivasi bagi mahasiswa - mahasiswa lain yang juga berkeinginan menjadi orang berduit yang tidak melulu menggantungkan diri pada pemerintah ataupun bos perusahaan. Tak selamanya mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi harus berhasil masuk dalam bursa kerja sektor formal, berkecimpung di dunia usaha dan industri kreatif juga menjadi pilihan yang cukup keren. Ingat, untuk menjadi negara yang maju setidaknya dua persen dari total penduduk di sebuah negara harus menjadi entrepreneur, sedangkan untuk mencapai angka itu Indonesia masih sangat jauh. Untuk itu perlu sinergi banyak pihak untuk mampu mengubah mindset orang yang mulanya rajin mencari kerja menjadi mindset orang yang sibuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Semoga kita termasuk orang-orang yang bermanfaat bagi lingkungan kita dan bukan malah menjadi beban bagi mereka.

Tulisan ini di muat di media cetak Suara Merdeka 19 Mei 2012

Read more »

Quo Vadis Lumpur Lapindo


Satu windu lebih sudah bencana lumpur Lapindo melanda rakyat Porong Sidoarjo. Tentunya pasca bencana selama lima tahun ini, lumpur Lapindo telah memberikan berbagai kisah mengharukan dan menyayat hati para korban yang mengalaminya.

Selama itu pula banyak pihak yang berspekulasi dengan berbagai argumen demi menemukan sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, faktanya semua usaha tersebut belum memberikan hasil yang positif dan signifikan, bahkan cenderung mengecewakan pihak korban yang selama ini telah dirugikan oleh PT Lapindo Brantas.Lebih ironis lagi ternyata selama bencana lumpur Lapindo melanda rakyat Sidoarjo, para pihak yang seharusnya bertanggung jawab menyelesaikan masalah ini lebih cenderung bersifat politis dalam menyelesaikannya.

Adanya faktor politis dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab itu berawal dengan munculnya berbagai istilah dan nama yang digunakan dalam membahas kasus Lapindo ini. Pertama, istilah untuk keluarnya lumpur yang terjadi di Porong Sidoarjo pada awalnya dikenal dengan Lumpur Sidoarjo, yang kemudian disingkat menjadi LUSI.

Entah siapakah yang telah memberikan nama tersebut. Namun yang pasti, karena istilah tersebut akan memberikan makna dan faham yang salah, maka kemudian media massa “sepakat” merubah nama Lumpur Sidoarjo dengan mempopulerkan menjadi Lumpur Lapindo. Sebab istilah Lumpur Sidoarjo seakan memberikan persepsi bahwa tempat terjadinya bencana lumpur lebih penting daripada penyebab terjadinya bencana tersebut. Pada intinya penulisan tersebut telah menomorduakan penyebab bencana yaitu PT Lapindo Brantas. Sehingga kesan yang terjadiadalahini lumpur orang-orang Sidoarjo, bukan lumpurnya Lapindo.

Sementara itu, bila menggunakan penulisan lumpur Lapindo lebih mengutamakan penyebab terjadinya bencana, sehingga menekankan bahwa bencana tersebut merupakan sesuatu yang disebabkan oleh kelalaian manusia, dalam hal ini adalah PT Lapindo.

Kedua, pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus Lapindo memandang bahwa lumpur di sidoarjo adalah sebuah fenomena alam. Mereka memberikan argumen bahwa siapapun yang menjalankan bisnis pengeboran minyak disitu akan mengalami peristiwa yang sama. Hal ini semakin menambah bukti akan siapakah pihak yang memunculkan istilah LUSI dalam lumpur Lapindo ini.

Padahal banyak yang menilai kasus ini berawal dari keinginan menghemat biaya operasional PT Lapindo dengan tidak memasang casing (selubung bor), sehingga dalam pengeboran yang dilakukan Lapindo tidak sesuai dengan standar keamanan yang telah ditetapkan.

Sebagai referensinya adalah hasil pertemuan International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center di Afrika Selatan pada tanggal 26-29 Oktober 2008 yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menyebutkan 42 suara ahli berpendapat penyebab pengeboran, 3 suara menilai karena gempa Yogyakarta, sedangkan 13 suara menganggap kombinasi antara kedua penyebab tersebut dan 16 suara tidak memberikan pendapat.

Ketiga, bencana lumpur Lapindo di asumsikan sebagai bencana nasional seperti halnya gempa bumi di Yogyakarta atau bencana Tsunami yang terjadi di Aceh. Padahal dari segi penyebab dan kronologinya saja sudah sangat jauh berbeda. Sehingga implikasi dari persepsi ini adalah adanya kucuran dana APBN untuk menambal dan mengganti kerugian yang dialami masyarakat Sidoarjo.

Tentu ini sangat menguntungkan dari segi finansial pihak PT Lapindo Brantas yang notabene adalah anak perusahaan orang terkaya Indonesia ( versi Forbes = US$ 5,4 Miliar ) yaitu Aburizal Bakrie yang juga seorang mantan Menkokesra pada tahun 2007 lalu. Seharusnya dana APBN itu didistribusikan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, mengingat masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan, hidup jauh dari fasilitas yang memadai serta masih banyaknya anak Indonesia yang tidak sekolah akibat tidak ada dana untuk membiayainya. Sungguh sangat tidak logis !!!

Bagaimana tidak, resiko kerugian dan kesalahan bisnis yang dilakukan oleh personal harus ditanggung oleh dana APBN. Sehingga dengan politik tersebut secara tidak langsung pada hakikatnya telah terjadi korupsi terhadap uang negara secara sistematis dan struktural sehingga pihak publik dibuat tidak sadar dan merasa dirugikan.

Keempat, dibentuknya badan TP2LS ( Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Lapindo ) tidak bersikap objektif dalam menjalankan tugasnya. Bahkan lebih cenderung berpihak dan menguntungkan PT Lapindo, dengan kata lain badan TP2LS ini lebih cocok dan relevan disebut sebagai kepanjangan tangan Abu Rizal Bakrie.

Sebagai contohnya adalah TP2LS melakukan manipulasi data dengan hanya melaporkan 4 Desa yang terendam dari jumlah keseluruhannya adalah 11 Desa. Berarti terdapat 7 Desa yang tidak dimasukan oleh TP2LS dalam peta desa yang terkena dampak lumpur Lapindo. Terlebih dalam mengganti biaya kerugian pun masih banyak warga yang merasa dirugikan, karena adanya ketidakadilan antara satu desa dengan desa lain.

Ditambah adanya peraturan yang diterapkan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineraluntuk mengadakan uji seismik dalam menentukan daerah yang terkena dampak lumpur Lapindo. Padahal menurut ahli geologi dari Institut Teknologi Sepuluh November ( ITS ), Andang Bachtiar mengungkapkan uji seismik akan memakan banyak waktu dan biaya. Jelas hal ini akan membuat tergantungnya nasib rakyat Sidoarjo berlarut – larut dalam duka dan kesedihan. Lengkap sudah penderitaan rakyat Sidoarjo tersebut !!!

Selain dari realita diatas, lumpur Lapindo telah memberikan dampak negatif dalam kelangsungan hidup dan nasib masyarakat Sidoarjo. Mulai dari faktor kesehatan, finansial, psikologi hingga masa depan masyarakat Sidoarjo kedepan.

Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Kasus Lumpur Lapindo yang ke lima tahun ini, tulisan ini hanya ingin menyampaikan sebuah kritikan serta mencoba memberikan kesdaran kepada kita semua terutama pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas dampak yang telah mereka lakukan, agar adanya kejelasan mengenai proses penanggulangan, kejelasan nasib rakyat yang menjadi korban.

Cukup sudah air mata yang mengalir keluar dari jeritan saudara sebangsa kita yang ada di Sidoarjo. Cukup sudah mereka yang menanggung akibat dari kelalaian karena kepentingan pribadi seseorang. Adakah pihak yang harus bertanggung jawab itu masih mempunyai jiwa kesatria dan rasa kemanusiaan yang masih waras ???

Tulisan ini menjadi salah satu artikel terbaik dalam lomba Artikel 5 Tahun Kasus Lumpur Lapindo.
http://www.satuportal.net/content/quo-vadis-lumpur-lapindo-lomba-artikel-5-thn-kasus-lapindo

Read more »

Sabtu, 24 Maret 2012

Membangunkan Pemuda Indonesia



Pemuda merupakan kreator serta inisiator sebuah perjuangan. Bangsa Indonesia telah menyaksikan bagaimana perjuangan yang telah diciptakan kaum muda dalam perjalanan sejarahnya. Kita dapat melihat, sedikitnya terdapat lima momentum perjuangan bangsa Indonesia yang tidak lepas dari peran kaum muda; kebangkitan nasional 1908, sumpah pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan 1945, kelahiran orde baru 1966 dan gerakan reformasi 1998.

Sejarah bangsa Indonesia telah memperlihatkan pada kita betapa besarnya peranan para pemuda. Seperti Tan Malaka, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Mohammad Natsir yang merupakan founding fathers bangsa ini, mereka semua memulai perjuangannya sejak berusia muda. Mereka telah menggoreskan tinta kehormatan dan pena kemuliaan dalam sejarah bangsa ini. Pengakuan dan penghormatan atas kontribusi besar mereka tak hanya terdengar di negeri bahkan menggaung sampai ke negeri orang.

Namun, bila kita melihat kenyataan semangat pemuda masa kini sangat berbeda jauh dengan semangat pemuda pada era sebelumnya. Pemuda kini hidup dalam dunia yang serba pragmatis. Hal ini sebagai imbas dari guliran budaya globalisai yang merasuki budaya Indonesia lewat perkembangan teknologi dan informasi yang sangat memikat. Walaupun globalisasi tidak selalu membawa dampak negatif. Namun globalisasi di Indonesia lebih banyak berdampak negatif, seperti pola hidup masyarakat yang menjadi lebih konsumtif, hedonis, dan materialistis.

Tantangan semakin berat seiring dengan pudarnya jiwa perjuangan serta persatuan pemuda. Persatuan dan kesatuan terancam oleh berbagai persoalan kebangsaan. Pada saat keadaan Indonesia mengalami krisis multidimensional, pemuda seyogyanya mampu merevitalisasi persatuan dan kesatuan bangsa. Perjuangan terberat bagi pergerakan pemuda saat ini bukan semata menggantikan sebuah roda pemerintahan.

Perjuangan terberat dari gerakan pemuda saat ini adalah revolusi “mindset” atau cara pandang pemuda dan kepada nilai-nilai kebangsaan yang beradab. Bung karno pernah mengatakan “musuh kita hari ini tidak lagi melawan penjajah, tetapi musuh kita hari ini adalah melawan pengrusak anak bangsa”.

Pemuda diharapkan mampu menjelma menjadi sebuah amunisi dari maju mundurnya sebuah bangsa yang senantiasa siap untuk selalu mengambil peran dan memberikan sumbangsihnya untuk kemajuan berbangsa dan bernegara. Sebagai mana yang telah dicita-citakan oleh proklamator negeri ini. Dengan harapan mudah-mudahan pemuda pemudi Indonesia dan generasi penerus bangsa, dapat menjadi soekarno-soekarno masa depan, yang senantiasa menjadi motor pergerakkan kemajuan NKRI.

Tulisan ini di Muat di Harian Seputar Indonesia tgl 28 Oktober 2011

Read more »

Jumat, 23 Maret 2012

Peranan Da’i Dalam Membentuk Wajah Islam Indonesia


Islam masuk ke Indonesia tidak dengan jalan peperangan ( penaklukan ). Islam justru masuk ke Indonesia dengan jalan damai. Dakwah yang dilakukan para penyebar agama Islam di abad ke 16 – 17 menunjukan hubungan yang dialogis, negosiatif dan adaptif terhadap masyarakat setempat. Inilah yang kemudian menyebabkan Islam mudah di terima oleh masyarakat Indonesia yang sudah sejak lama memeluk agama Hindu dan kepercayaan lokal.

Akulturasi dakwah yang di lakukan Walisongo dengan memasukan unsur – unsur Islam ke dalam budaya lokal menarik simpati yang besar dari masyarakat, sehingga proses islamisasi secara perlahan menyebar ke segala dimensi kehidupan masyarakat. Dakwah yang mencerminkan apresiasi yang besar terhadap kepercayaan masyarakat lokal tanpa menyingkirkan akidah Islam yang harus menjadi keyakinan umat Islam, membuat proses Islamisasi berjalan lancar dan bahkan dalam periode yang selanjutnya Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

Namun demikian, seiring dengan perubahan zaman, wajah Islam Indonesia berubah dari wajah yang damai menjadi wajah yang keras, seram dan menakutkan. Berbagai aksi kekerasan atas nama agama, radikalisme dan terorisme yang terjadi di bumi pertiwi menjadikan wajah Islam Indonesia berubah; keras, militant dan radikal. Fenomena tersebut merupakan buah dari pemahaman keagamaan masyarakat yang belum tuntas tentang makna agama sebagai spirit perdamaian. Norma agama Islam yang begitu agung disalah fahami dan di salah tafsirkan sehingga banyak sekali ekspresi beragama yang tidak sejalan dengan visi normatif Islam yang damai.

Di Indonesia ini sudah banyak kita saksikan aksi – aksi kekerasan seperti pengusiran terhadap kelompok Ahmadiyah yang di anggap sesat, konflik antar agama dan sekarang yang sedang hangat adalah aksi bom bunuh diri beserta aksi – aksi kekerasan lainnya yang tidak mendukung upaya hidup bersama yang toleran dan damai dalam bingkai pluralisme.

Ekspresi keagamaan yang di tampilkan oleh umat seringkali mencerminkan wawasan keagamaan yang sempit, sehingga melupakan esensi keberagamaan. Islam seringkali di fahami dalam pengertian legalistik – formalistik yang di dasarkan pada ideologi “ penegakan syari’at Islam “. Padahal, Islam formalistik justru melupakan esensi dari ajaran dasar Islam yang menghendaki penciptaan masyarakat majemuk yang egaliter dan sederajat dalam bingkai pluralisme Indonesia.

Pada gilirannya, pemahaman keagamaan seperti itu justru mengkerdilkan Islam sebagai agama Rahmatan Lil ‘Alamin yang menghendaki kesetaraan umat beragama dan hidup bersama dalam perbedaan ( suku, agama, dan golongan ) serta praktek beragama yang holistik, tidak sekedar legalistik – formalistik. Kemudian, Islam sering dituduh sebagai agama teroris, tidak peduli terhadap kesadaran sosial, dan agama esklusif. Citra seperti ini telah membawa perubahan besar bagi umat Islam Indonesia yang dulunya di kenal santun, toleran, dan tidak keras / militant menjadi radikal dan berlawanan dengan cita – cita sosial perdamaian.

Di tengah wajah Islam Indonesia yang sedang terkotori akibat ulah segelintir golongan yang salah memahami Islam, dengan apakah kita akan mensucikan kembali Islam dari najis teroris, radikalis dan anarkis ? Jawabannya adalah dengan dakwah. Karena dakwah memiliki pengaruh besar di tengah – tengah masyarakat. serta dakwah lah yang menjadikan kesadaran dan pemahaman keagamaan masyarakat.

Oleh sebab itu, strategi dakwah dan penyadaran kepada para da’i memiliki keterkaitan yang erat dengan seberapa jauh wajah islam di Indonesia. Keras – lunaknya serta moderat – radikalnya masyarakat sangat di tentukan oleh strategi dakwah dan pemahaman keagamaan yang diyakini para da’i.

Dalam ranah sosial, Islam seringkali dipahami hanya sebagai persoalan ibadah saja, yang pemaknaannya masih terbatas pada pola hubungan hamba dengan Tuhan. Sehingga penyebaran dakwah yang terjadi di masyarakat lebih banyak menyoroti persoalan ibadah kepada Allah SWT secara esklusif tanpa memaknainya secara luas.

Padahal Islam memiliki spirit pembebasan yang meniscayakan pola hubungan yang tidak saja vertikal kepada Tuhan, tetapi juga pola hubungan yang horizontal terhadap sesama manusia. Sehingga Islam sebagai agama memiliki tanggung jawab sosial agar masyarakat memiliki perilaku sosial yang bertanggung jawab, transparan dan berkeadilan.

Kenapa Da’I ?

Sebab pemahaman keagamaan masyarakat biasanya sangat dipengaruhi oleh para juru dakwah ( ustadz, da’I & kyai ). Para da’ilah yang ikut mengkonstruk pemahaman keagamaan masyarakat melalui aktifitas dakwah yang dilakukan secara terus menerus di dalam berbagai kesempatan baik dalam skala harian, mingguan, bulanan maupun tahunan.

Oleh karena peranan para da’i begitu besar dalam memproduksi pemahaman agama masyarakat, maka sangat diperlukan pelatihan yang di ikuti oleh para aktivis dakwah, terutama dalam mendorong wawasan keagamaan mereka agar lebih inklusif dan toleran serta dapat memberikan kontribusi bagi perubahan sosial di masyarakat.

Jika para aktivis dakwah mampu memahami doktrin agama secara kritis, inklusif dan toleran, maka secara otomatis masyarakat akan mentransfer pemahaman yang dimiliki para aktivis dakwah. Dengan demikian, akan tercipta suasana dan ekspresi keberagamaan masyarakat yang sejalan dengan cita – cita Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin.

Pada akhirnya, dengan kemampuan strategi dakwah yang memadai dan pemahaman keagamaan yang komprehensif, masyarakat sebagai objek dakwah akan berubah cara pandang keagamaannya. Pada titik yang selanjutnya, wajah Islam di Indonesia akan kembali seperti pada zaman awal Islam masuk ke Indonesia; berwajah damai dan akomodatif terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat.

Read more »

Logika Industri Sastra Islami


Sastra islami telah di rekayasa mengikuti pasar logika. Akibatnya, kelatahan massal tidak bisa di tampik. Sastra indonesia mengalami guncangan luar biasa setelah novel Ayat – Ayat Cinta ( AAC ) karya Habiburahman al – Shirazy ( 2004 ) “ merajai “ pasar. Sejak itulah sastra islami ramai – ramai di bincang dalam horizon sastra indonesia.

Kemudian secara sadar menempatkan AAC sebagai bagian dari karya sastra yang lahir dari koridor Islam. Kegandrungan pembaca pada AAC telah menimbulkan kelatahan berkepanjangan yang kemudian masuk dalam jejaring pasar.

Meski AAC bukanlah jabang bayi karya sastra yang kini di elu – elukan sebagai sastra islami itu, tapi kehadirannya adalah dentuman besar yang menggairahkan fiksi berlatar Islam. Jauh sebelum AAC menggetarkan jagad kesusasteraan Indonesia yang penjualannya mencapai 300 ribu eksemplar lebih, bahkan di tonton lebih dari 3 juta pasang mata ketika di filmkan oleh Hanung Bramantyo.

Spiritual dan Logika Pasar

Kekeringan spiritualitas manusia modern telah memberi ruang yag lapang bagi sastra Islami. Kita tidak bisa menampik bahwa manusia terkini lebih memilih mempelajari agama dan menuruti perburuan spiritual lewat buku – buku ringan seperti novel. Daya magnet novel Islami begitu kuat karena corak pembahasan pesan – pesan agama disampaikan secara sederhana, ringan dan elastis. Berbeda dengan buku – buku agama yang cenderung ilmiah, apalagi kitab – kitab klasik, yang kini hanya dipelajari oleh segelintir orang.

Adapun ruang yang di maksud adalah pasar. Bahwa pasar telah memberi tempat yang luas bagi tumbuh kembangnya karya sastra macam itu, karena animo masyarakat sangat tinggi terhadapnya. Lantas jaring – jaring pasar menciptakan skema yang jelas untuk membuat logika industri terkait sastra islam yang telah masuk dalam tataran mass culture ( budaya massa ).

Logika industri sangat mempengaruhi perkembangan sastra islam. Pasar telah menancapkan strategi, merekayasa bentuk, dan memapankan gaya dan ( bahkan ) membuat kisi – kisi atas isi karya – karya sastra. Pada akhirnya pasar mendorong penyesuaian bentuk karya sastra islami agar diterima dan diapreasiasi pembaca demi meningkatkan laba industri.

Latah dan Monoton

Pasar dan kegandrungan pembaca yang luar biasa pada sastra islami telah melahirkan kelatahan yang luar biasa pula. Banyak penulis muncul dengan membawakan tema seragam. Bahkan alur cerita pun banyak yang hampir mirip.

“ Cinta “ hampir menjadi satu – satunya tema yang di angkat. Hal itu dapat dilihat dari judul – judulnya ; Ayat – Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Dalam Perjamuan Cinta, Dalam Sujud Cinta, Takdir Cinta, Perempuan Suci, Lapaz Cinta, Berselimut Surban Cinta, Mukjizat Cinta, Bismillah ini Tentang Cinta, dan Bait – Bait Cinta. Itu baru perwakilan saja, sebab ada ratusan buku berjudul cinta yang sampul depannya kebanyakan bergambar perempuan ( berjilbab atau bercadar ).

Tema cinta yang dihadirkan pun terasa dangkal atau pelan – pelan secara alami mengalami pendangkalan. Karena cinta di dalamnya sebatas manifestasi perasaan manusia yang berlainan jenis. Cinta yang harus memilih diantara pesona kelelakian atau keperempuanan. Ini bertolak belakang dengan cinta yang disampaikan penyair islam klasik seperti Jalaludin Rumi, Rabi’ah al – Adawiyah ataupun ibn ‘Araby yang mengisahkan bait – bait cinta berisi spiritualitas fundamental manusia dalam “ mencumbu “ Tuhan.

Padahal, cinta yang tidak disadari tapi pelan – pelan menjadi ghaib adalah cinta yang bersifat kemanusiaan universal dan cinta kasih sesama. Sayang, fiksi islam belum menyentuh tataran itu. Yang berusaha dikedepankan hanyalah bagaimana mencitrakan tokoh dengan nuansa islam yang paripurna. Hingga yang tampak tak lebih dari tujuan ingin mengatakan “ inilah orang islam “ melalui tokoh – tokoh yang digambarkan.
Jika mau jujur, sebenarnya spiritualitas tak pernah hilang dari karya sastra manapun. Fiksi umumpun tak lepas dari pesan – pesan religiusitas.

Begitu juga, novel – novel umum pun banyak berbicara soal islam. Maka fatal sekali bila novel yang secara spesifik tidak menampilkan keislaman verba, di klaim sebagai sastra non islami. Hampir semua karya sastra mengusung moralisasi yang mengajarkan kemanusiaan.

Di sisi lain, kelatahan membuat kelahiran fiksi islami kentara dengan kesan monoton. Baik cara penyampaian pesan maupun pengisahan. Pada dasarnya novel – novel islami yang ada sampai saat ini lebih bercorak menerjemahkan konflik seorang tokoh dengan interpretasi al - Quran atau al – Hadits. Setiap jengkal perjalanan hidup tokoh tak bisa lepas dari sandaran dalil – dalil naqli. Hingga disitu, pembaca akan lebih banyak menemui terjemahan atau penafsiran al – Quran dan al – Hadits daripada narasi cerita yang di bangun.

Kemudian ada semacam “ kegagalan “ cara menyampaikan pesan – pesan islam yang selalu saja hendak di visualisasikan secara verbal dalam novel – novel islami. Kegagalan itu adalah bentuk mengkomunikasikan nilai – nilai estetik sastra dalam bentuk dangkal yang tak ubahnya seperti ceramah. Kesan yang timbul adalah “ menggurui “. Padahal, kesejatian pesan sebuah karya sastra adalah mengajak manusia untuk merenungi kembali segala nilai yang telah berlaku. Sedangkan “ menggurui “ jauh sekali dalam konteks kesadaran pembaca untuk berkontemplasi.

Ambiguitas pun muncul jika kita mendebatkan soal nilai. Bahwa, seolah – olah baik dan buruk hanya dapat di timbang dengan neraca yang bernama agama. Nurani fitriah yang melekat secara kodrati pada setiap orang tak terlalu dipakai. Daya kritis kemanusiaan terlalu dibekukan oleh doktrinasi cerita yang selalu “ di islamkan “.

Jejak Sastra Islam

Benar apa yang di tulis Yasraf Amir Piliang dalam esainya Sastra dan E(ste)tika Massa ( 2008 ), bahwa kalangan kritikus sastra sangat khawatir “ industri budaya “ yang lahir atas nama karya sastra berbasis pada logika industri. Karena karya sastra atau produk – produk kebudayaan lainnya tidak bisa di seragamkan sebagai barang industri.

Lantas, apakah konsep sastra islami benar – benar pas disematkan untuk karya – karya macam di atas ?
Selama ini yang terjadi justru term sastra islami mengikuti logika industri, bukan logika kebudayaan itu sendiri. Kelatahan fiksi islami adalah fakta yang tidak bisa di tampik yang nyata – nyata membuat banyak penulis hadir di dalam ruang itu hanya karena mengikuti arus pasar semata.

Sebenarnya sastra bercorak Islam sudah membumi sejak era kelahiran sastra melayu sebagai awal perkembangan kesusasteraan Indonesia. dalam hal ini bisa di rujuk karya – karya Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Fanshuri atau Amir Hamzah.

Menurut esainya Hamdy Salad dengan judul Narasi Sastra Religius ( 2008 ), ada tiga unsur yang tak terpisahkan dari etik profetik. Yaitu amar ma’ruf ( humanisme ), nahyi munkar ( Liberasi ) dan iman billah ( transendensi ). Amar ma’ruf atau humanisme memuat pesan untuk memanusiakan manusia sesuai peran budaya yang dijalankan. Nahyi munkar atau liberasi adalah pesan pembebasan manusia dari penindasan sistem budaya yang sedang berlangsung di masyarakat. Adapun iman billah meliputi perlawanan kreatif yang bersifat religius dan spiritual terhadap ideologi budaya bersifat sekuler.

Selain sastra profetik, sastra sufistik juga memperkaya definisi tentang sastra islam. Esensi sastra sufistik agak berbeda dengan sastra profetik. Tak sekadar memusatkan penalaran pada humanisme, liberasi, dan transendensi. Melainkan meletakan logika sastra pada unsur estetik yang bersifat transenden. Transendensi dalam ukuran sufistik adalah proses identifikasi ekspresi spiritual ( ruhaniyah ) manusia. Ada dua konteks transendensi yang terkandung dalam sastra sufistik : teologis ( Hablum minallah ) dan kultural ( Hablum minannas ).

Dengan demikian sastra islami yang berkembang saat ini perlu di kontekstualisasikan dengan term awal sastra islam yang telah lebih dulu menjadi induk. Maka sudah selayaknya penggerak sastra islami – industri dan penulis – termasuk pembaca lebih menimbang otentisitas karsa yang berlandaskan nilai – nilai islam, bukan sekedar tampilannya, yang akhirnya cenderung picisan. Karena bisa jadi sastra islami yang marak saat ini adalah sastra yang hanya menyerupai sastra islam, bukan sastra islam itu sendiri.

Read more »

JEBAKAN FORMALISASI SYARI'AH



Paket formalisasi syari’at dan Khilafah Islamiah atau “ Negara Tuhan “ setidaknya telah berhasil membentuk opini publik muslim Indonesia sebagai suatu nilai ajaran Islam yang sempurna yang wajib di perjuangkan dengan berdarah – darah. Sebagai solusi terakhir dan terbaik atas kegagalan sistem “ kafir “ Barat atau sistem atheis Soviet. Semua ajaran di luar formal syari’at dalam paradigma ini dituduh tidak sesuai dengan prinsip – prinsip fundamental Islam. Bahkan, dibilang sebagai sistem sesat yang menyengsarakan. Pengikut ajaran diluar formal syari’at adalah kafir, murtad, pengacau dan melawan islam. Serta halal untuk pertumpahan darah dan menghilangkan nyawanya.

Demikian itu sering kita dengar dari pendapat sempit berbagai oknum golongan kanan Islam garis keras ( Islam politik ) atau kasus yang akhir – akhir ini masih hangat adalah gerakan para aktivis Negara Islam Indonesia ( NII ) yang melakukan pencucian otak serta aksi bunuh diri para teroris yang mengatasnamakan Islam.

Setelah dilakukan penelusuran dark side sejarah, ditemukan bahwa kanan Islam adalah ideologi Islam politik yang menjadi aktor devil’s game bersama Amerika Serikat untuk menghancurkan Uni Soviet. Einsenhover, presiden AS, menjalin kemesraan politik dengan raja Saud, Saudi Arabia. Einsenhover juga mengkampanyekan kepada negara – negara Timur Tengah lain akan diberi bantuan dana dan suplai senjata tempur bagi negara Timur Tengah yang mau bersama Amerika melawan Soviet. Koalisi “ permanen “ keduanya memberikan semangat bagi Saudi untuk memobilisasi gerakan kanan Islam militan dalam jumlah besar dengan komando teologis. Yakni, agama atau dalih formal syari’at Islam dijadikan legitimasi dalam menggerakan masa militan demi menghancurkan kekuatan – kekuatan sosialis dan pro nasionalisme dibelahan negara manapun.

Komando politik teologis ini sangat hebat karena dilegitimasi oleh payung “ Negara Tuhan “ dan memperjuangkan “ Mandat Tuhan “ lewat formal – formal syari’at demi mendirikan imperium Khilafah Islamiyah dunia.

Gerakan pejuang formalisasi syari’at dan Khilafah Islamiah di Indonesia merupakan strategi politik ( politisasi ) agama demi mencapai tujuan yang hendak di capai oleh gerakan kanan Islam. Yakni, penguasaan wilayah Indonesia menggunakan jalur ideologi ekstrim.

Ironis, sungguh gerakan ini sangat bertentangan dengan nilai – nilai negara Pancasila yang sangat menghormati dan toleran terhadap multi perbedaan. Kanan Islam, yang menghembuskan virus anti pluralisme agama jika dibiarkan saja, dalam suatu masa akan meruntuhkan kesatuan dan persatuan Indonesia yang di bangun atas dasar ikatan multi agama, kepercayaan, bukan penganut aliran kepercayaan ( “ atheis “ ), adat, suku, warna kulit, dsb.

Kontra Formalisasi Syari’at

Ormas Islam terbesar di Indonesia, baik NU atau Muhammadiyah ikut bersuara lantang menentang upaya pendirian Khilafah Islamiah dan formalisasi syari’at di Indonesia. karena formalisasi syari’at dan program khilafah sangat berlawanan dengan semangat pendirian NKRI.

Padahal sangat jelas, tidak ada konsep Islam tentang negara. Syari’ah yang di bawa Muhammad saw tidak pernah mengkhususkan konsep apa yang cocok dan baku tentang negara Islam. K.H Abdurahman Wahid ( Gus Dur ) berargumen, Islam tidak mengenal pandangan jelas dalam pergantian kekuasaan. Contohnya, tatkala nabi Muhammad saw wafat, sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin menggantikan Muhammad, sehingga umat terhindar dari perpecahan. Beda dari yang awal, sebelum Abu bakar meninggal, beliau menunjuk Umar bin Khatab sebagai penggantinya kelak.

Proses kedua ini lewat penunjukan ( mandat ) langsung dari pemimpin sebelumnya. Kemudian, saat Umar diambang kritis setelah ditikam Abu Lu’luah, ia meminta ditunjuk dewan pemilihan yang terdiri dari tujuh orang ( termasuk anak Umar, Abdullah; di syaratkan tidak boleh dipilih jadi pemimpin ) untuk memilih pemimpin pengganti Umar. Kesepakatan tim ini menunjuk Utsman bin Affan. Selanjutnya, Utsman di ganti Ali bin Abi Thalib. Untuk mengganti Ali, Abu Sufyan telah mempersiapkan anak cucunya supaya menjadi pemimpin setelah Ali. Sejak itu, muncullah kerajaan atau khilafah, seperti Utsmaniyah yang raja – rajanya berdasarkan anak keturunan “ darah biru “ sang khalifah. ( Islam ku, Islam anda, Islam Kita: K.H Abdurahman Wahid ).

Lanjut Gus Dur, mesti ada adagium La Islama Illa bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa bi Tha’ah ( Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan ). Itu tidak menunjukan bahwa kepemimpinan atau pemerintahan wajib berdasarkan Khilafah Islamiah. Tetapi, kepemimpinan itu adalah penegakan dan perlindungan atas penegakan perintah Islam dan larangannya.

Formalisasi Syari’at Bukan Nilai Tetapi Strategi Menjajah

Kadang kita terlalu lugu memahami fenomena gerakan keagamaan yang mengusung isu kampanye tersebut. Misalnya, formalisasi syari’at yang menjadi satu paket dengan promosi khilafah / daulah islamiah. Dengan lugu, kampanye itu di anggap benar – benar sesuai tata nilai keislaman yang ada pada masa Rasul saw dan sahabat. Terbuai iming – iming bahwa formalisasi syari’at dan khilafah adalah solusi terakhir untuk menyelesaikan problem bangsa. Masyarakat Islam masih mudah diperdaya menggunakan segala sesuatu yang di beri simbol Islam atau Islami. Logikanya, segala yang Islami akan memudahkan jalan hidup dan merupakan tiket kilat khusus masuk surga.

Formalisasi syari’at bukan nilai atau ajaran tentang kebaikan dan solusi masalah bangsa dan keumatan. Melainkan, jebakan !!! nama “ jebakan “ adalah senjata rahasia (bom) dalam peperangan fisik, ketika di injak atau di tekan maka akan menimbulkan ledakan. Akibatnya, salah satu bagian tubuh hilang, bahkan lebih buruk nyawa melayang. Demikian halnya jebakan formalisasi syari’at, ketika Indonesia menerapkan formalisasi syari’at sama halnya menginjak jebakan dalam peperangan yang dipasang musuh. Apa konsekuensinya jika Indonesia menginjak jebakan itu ?

Pertama, bertentangan dengan pluralisme beragama. Yakni, pengakuan bahwa di dalam setiap agama ada ajaran kebenaran dan kemaslahatan yang ditujukan untuk seluruh umat manusia.

Kedua, akan memunculkan gejolak hebat dari setiap pemeluk agama yang beda ketika menginginkan penerapan syari’at agamanya ( Kristen, Hindu, Budha, dll ). Di Indonesia, masing – masing merasa memiliki Indonesia ( dalam arti cauvinis ) sehingga berhak menerapkan syari’at agama atau kepercayaannya. Jika terjadi, mampu memobilisasi gelombang pertikaian dan pemaksaan hukum agama tertentu agar diterima agama lain. Mengingat nalar Indonesia yang oposisi biner ( kebenaran ada pada satu sisi ), maka demi memperjuangkan kebenaran, lainnya salah dan perlu dihabisi. Hasilnya, rakyat Indonesia hidup dalam kecamuk, pertikaian, dan perang saudara.

Ketiga, Ideologi Wahabi yang mencengkeram kuat, lewat formalisasi syari’at dapat dijadikan legitimasi menggerakan masyarakat Indonesia berlaku sesuai kehendak otoritas Wahabi. Jelasnya, Wahabi adalah gerakan agama yang bermesraan dengan politik, maka masyarakat Indonesia hanya dijadikan tumbal demi mendapatkan target politik dari penguasa Wahabi.

Keempat, dampak paling buruk setelah poin – poin sebelumnya dari jebakan formalisasi syari’at, hancurlah bangunan keutuhan NKRI yang didirikan foundhing mothers dan foundhing fathers kita dari landasan filosofis tinggi. Walaupun multi agama, ras, suku, golongan dan warna kulit, persatuan dalam wadah NKRI dan Pancasila sebagai dasarnya tetap utuh. Kemudian di ganti dengan bentuk khilafah islamiah dan formalisasi syari’at yang sejak awal pendirian ini penuh kebusukan.

Menyikapi Gerakan Formalisasi Syari’at

Umat Muslim Indonesia tidak perlu reaksioner atau radikal atas upaya Islamisasi Indonesia. Karena, reaksi berlebihan berarti upaya para aktivis Islam Kanan berhasil mendapat respon. Yang harus dilakukan oleh Muslim Indonesia adalah, pertama konsolidasi muslim pribumi agar hati – hati dengan ajaran dari luar yang akan merusak ciri khas beragama di Indonesia. Sebagai gerakan transnasional, para propaganda formalisasi syari’at akan kehabisan tenaga dan biaya kalau di respon sewajarnya saja.

Kedua, sikap moderat dan jejeg ( tawasuth wal i’tidhal ) merupakan posisi proporsional yang sejak dulu sudah di kembangkan para pendiri bangsa. Terbukti dengan tercetus gerakan non – blok dalam Konferensi Asia – Afrika di Bandung 1995 dan politik luar negeri bebas aktif. Pembelaan terhadap salah satu blok, sama halnya menjerumuskan Indonesia ke dalam perangkap permainan politik dunia.

Ketiga, perlu di ingat bahwa tidak ada paksaan dalam memilih agama. Tuhan pun tak memaksa, terlebih penerapan formalisasi syari’at tidak ada alasan untuk di terapkan secara formal dan paksa di Indonesia.

Read more »

PENGANTAR MANAGEMENT


A.Pendahuluan

Setiap manusia dalam perjalanan hidupnya selalu akan menjadi anggota dari berbagai macam organisasi, seperti organisasi sekolah, perkumpulan olahraga, kelompok musik, militer, ataupun organisasi perusahaan. Organisasi-organisasi ini mempunyai persamaan dasar, walaupun dapat berbeda satu dengan yang lain dalam beberapa hal. Untuk mengelola semua organisasi tersebut diperlukan adanya ilmu yang berfungsi untuk mengatur dan memeberdayakan semua elemen yang terlibat di dalamnya.

Manajemen dibutuhkan oleh semua organisasi, karena tanpa manajemen semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan akan menjadi sulit. Demikianlah salah satu fungsi dari manajemen.

Sebagai ilmu pengetahuan, manajemen bersifat universal dan mempergunakan kerangka ilmu pengetahuan yang sistematis, mencakup kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan konsep-konsep yang cenderung benar dalam dalam semua situasi manajerial. Ilmu pengetahuan manajemen dapat diterapkan dalam semua organisasi manusia, seperti perusahaan, pemerintah, pendidikan, sosial, keagamaan, dan lain-lainnya. Sehingga dapat disimpulkan, bila seorang manajer mempunyai pengetahuan dasar manajemen dan mengetahui cara menerapkan pada situasi yang ada, dia akan dapat melakukan fungsi-fungsi manajerial dengan efektif dan efisien.

Mengingat pentingnya peran pengetahuan manajerial di setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia, maka ilmu ini menjadi penting untuk dipelajari untuk kemudian diimplementasikan dalam tindakan riil di lapangan. Hal ini tentu saja untuk mewujudkan cita-cita setiap organisasi serta untuk menjaga keseimbangan di antara tujuan-tujuan yang saling bertentangan.

Untuk itu, dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana peranan manajemen dalam mengatur sebuah organisasi serta hal-hal yang berkaitan dengannya.

B.Pengertian Manajemen

Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Manajemen merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama (dalam suatu organisasi bisnis tujuan utamanya adalah memperoleh tingkatan laba yang memuaskan).

Sedangkan Daft (2003:4) mendefinisikan manajemen sebagai berikut:
“Management is the attainment of organizational goals in an effective and efficient manner through planning organizing leading and controlling organizational resources”.

Mendefinisikan manajemen ada berbagai ragam, ada yang mengartikan dengan ketatalaksanaan, manajemen pengurusan dan lain sebagainya. Pengertian manajemen dapat dilihat dari tiga pengertian.

1.Manajemen sebagai suatu proses

Pengertian manajemen sebagai suatu proses dapat dilihat dari pengertian menurut :

a.Encylopedia of the social science, yaitu suatu proses dimana pelaksanaan suatu tujuan tertentu dilaksanakan dan diawasi.

b.Haiman, manajemen yaitu fungsi untuk mencapai suatu tujuan melalui kegiatan orang lain, mengawasi usaha-usaha yang dilakukan individu untuk mencapai tujuan

c.Georgy R. Terry, yaitu cara pencapaian tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu dengan melalui kegiatan orang lain.

2.Manajemen sebagai suatu kolektivitas manusia

Manajemen sebagai kolektivitas yaitu merupakan suatu kumpulan dari orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama. Kolektivitas atau kumpulan orang-orang inilah yang disebut dengan manajemen, sedang orang yang bertanggung jawab terhadap terlaksananya suatu tujuan atau berjalannya aktivitas manajemen disebut Manajer.

3.Manajemen sebagai ilmu ( science ) dan sebagai seni

Manajemen sebagai suatu ilmu dan seni, melihat bagaimana aktivitas manajemen dihubungkan dengan prinsip-prinsip dari manajemen. Pengertian manajemen sebagai suatu ilmu dan seni dari :
a.Chaster I Bernard dalam bukunya yang berjudul The function of the executive, bahwa manajemen yaitu seni dan ilmu, juga Henry Fayol, Alfin Brown Harold, Koontz Cyril O’donnel dan Geroge R. Terry.
b.Marry Parker Follett menyatakan bahwa manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain.

Dari devinisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen yaitu koordinasi semua sumber daya melalui proses perencanaan, pengorganisasian, penetapan tenaga kerja, pengarahan dan pengawasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

Manajemen menurut James A. F. Stoner sebagaimana yang dikutip oleh Handoko adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa kegiatan manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai kegiatan-kegiatan manajemen tersebut:

a.Perencanaan, bahwa manajer memikirkan kegiatan-kegiatan mereka sebelum dilaksanakan.

b.Pengorganisasian, bahwa para manajer mengkoordinasikan sumber daya-sumber daya manusia dan material organisasi

c.Pengarahan, bahwa para manajer mengarahkan, memimpin, dan mempengaruhi para bawahan.

d.Pengawasan, para manajer berupaya untuk menjamin bahwa organisasi bergerak ke arah tujuan-tujuannya.

Definisi di atas juga menunjukkan bahwa para manajer menggunakan semua sumber daya organisasi – keuangan, peralatan, dan informasi seperti halnya orang – dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Sumber daya manusia adalah sumber daya terpenting dalam suatu organisasi, tetapi para manajer tidak akan dapat mencapai tujuan secara optimal bila mereka mengabaikan sumber daya-sumber daya organisasi yang lainnya. Sebagai contoh, seorang manajer yang berharap untuk meningkatkan penjualan tidak cukup hanya dengan memotivasi tenaga penjualannya, tetapi juga perlu meningkatkan anggaran pengiklanan. Ini berarti manajer menggunakan baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial untuk mencapai tujuan.

Akhirnya, definisi yang kita gunakan menyatakan bahwa manajemen melibatkan pencapaian tujuan-tujuan organisasi yang telah ditetapkan (stated goals). Ini mengandung arti bahwa para manajer organisasi apapun berupaya untuk mencapai berbagai hasil akhir spesifik.

Dalam suatu organisasi dipimpin oleh satu hierarki manajer, dengan chief executive officer (CEO) pada posisi puncak, dan para manajer unit bisnis, departemen, bagian (section), dan sub-unit lainnya berada di bawah CEO dalam bagan organisasi.

Atas dasar uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa pada dasarnya manajemen dapat didefinisikan sebagai bekerja dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan, dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penyusunan personalia atau kepegawaian (staffing), pengarahan dan kepemimpinan (leading), dan pengawasan (controlling).

Arti Manajemen

Pendapat tersebut kurang lebih mempunyai arti bahwa manajemen merupakan pencapaian tujuan organisasi dengan cara yang efektif dan efisien lewat perencanaan pengorganisasian pengarahan dan pengawasan sumber daya organisasi.

Dari beberapa pengertian manajemen yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat diketahui bahwa secara universal manajemen adalah penggunaan sumber daya organisasi untuk mencapai sasaran dan kinerja yang tinggi dalam berbagai tipe organisasi profit maupun non profit.

C.Urgensi Manajemen

Manajemen diperlukan oleh semua organisasi, karena tanpa adanya manajemen, semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan akan terasa sulit. Ada tiga alasan utama diperlukannya manajemen:

a.Untuk mencapai tujuan, manajemen diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi dan pribadi

b.Untuk menjaga keseimbangan di antara tujuan-tujuan yang saling bertentanagan

c.Untuk mencapai efesiensi dan efektivitas

Menurut ahli manajemen Peter Drucker, efektifitas adalah melakukan pekerjaan yang benar (doing the right things), sedang efisiensi adalah melakukan pekerjaan dengan benar (doing things right). Bagi manajer hal yang paling penting adalah bukan bagaimana melakukan pekerjaan dengan benar, akan tetapi bagaimana menemukan pekerjaan yang benar untuk dilakukan dan memusatkan sumber daya dan usaha pada pekerjaan tersebut. Seorang manajer yang bersikeras untuk memproduksi hanya mobil-mobil besar, sedang permintaan pasar justru ditujukan pada mobil-mobil kecil adalah manajer yang tidak efektif, walaupun produksi mobil-mobil besar tersebut dilakukan dengan efisien.

Dengan demikian, efesiensi dan efektivitas merupakan dua konsepsi utama untuk mengukur prestasi kerja (performance) manajemen. Efesiensi adalah kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar. Ini merupakan konsep matematik atau merupakan perhitungan ratio antara keluaran (output) dan masukan (input). Seorang manajer efisien adalah seseorang yang mencapai keluaran yang lebih tinggi (hasil, produktivitas, performance) dibanding masukan-masukan (tenaga kerja, bahan, uang, mesin, dan waktu) yang digunakan. Dengan kata lain, manajer yang dapat meminimumkan biaya penggunaan sumber daya-sumber daya untuk mencapai keluaran yang telah ditentukan disebut manajer yang efisien. Atau sebaliknya, manajer disebut efisien jika mampu memaksimalkan keluaran dengan jumlah input yang terbatas.

Efektifitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, seorang manajer diakatakan efektif apabila dapat memilih pekerjaan yang harus dilakukan atau metode yang tepat untuk mencapai tujuan.

D.Manajemen Sebagai Ilmu dan Seni

Luther Gulick mendefinisikan manajemen sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan (science) yang berusaha secara sistematis untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja bersama untuk mencapai tujuan dan membuat sistem kerjasama ini lebih bermanfaat bagi kemanusiaan. Menurut Gulick manajemen telah memenuhi persyaratan untuk disebut bidang ilmu pengetahuan, karena telah dipelajari dalam waktu yang lama dan telah diorganisasi menjadi suatu rangkaian teori. Teori-teori ini masih terlalu umum dan subyektif, tetapi teori manajemen selalu diuji dalam praktek, sehingga manajemen sebagai ilmu akan terus berkembang.
Manajemen merupakan ilmu pengetahuan juga dalam artian bahwa manajemen memerlukan disiplin ilmu-ilmu pengetahuan lain dalam penerapannya; misal, ilmu ekonomi, statistik, akutansi, dan sebagainya.

Manajemen bukan hanya merupakan ilmu atau seni, tapi kombinasi dari keduanya. Kombinasi ini tidak dalam proporsi yang tetap tetapi dalam proporsi yang bermacam-macam. Pada umumnya para manajer efektif menggunakan pendekatan ilmiah dalam pembuatan keputusan., apalagi dengan berkembangnya peralatan komputer. Di lain pihak, dalam banyak aspek perencanaan, kepemimpinan, komunikasi, dan segala sesuatu yang menyangkut unsur manusia, seorang manajer pun harus menggunakan pendekatan artistik (seni).

E.Manajemen Sebagai Profesi

Manajemen telah berkembang menjadi bidang yang semakin profesional melalui perkembangan yang menyolok program-program latihan manajemen di universitas-universitas ataupun lembaga-lembaga manajemen swasta, dan melalui pengembangan para eksekutif organisasi (perusahaan).

F.Pengertian-pengertian yang Berbeda dengan Istilah Manajemen

Pengertian manajemen perlu dibedakan dengan pengertian istilah-istilah lain seperti kewirausahaan (enterpreneurship) dan supervisi. Tidak hanya istilahnya yang berbeda tapi juga gagasannya:

a.Manajemen berbeda dengan enterpreneurship. Dalam ekonomi, faktor-faktor produksi adalah tanah, tenaga kerja, modal, dan wiraswasta (pemilik). Wiraswasta menurut definisi, memahami, mendapatkan sumber daya-sumber daya, mengorganisasikan, dan menjalankan perusahaan (bisnits). Mereka cenderung menjadi pengambil resiko yang didorong oleh motif keuntungan.

Sebaliknya, manajemen terlibat dalam pengorganisasian dan memimpin perusahaan (bisnis) dan organisasi lainnya, tetapi tidak mencakup pemilikan. Oleh sebab itu manajer adalah karyawan yang mengidentifikasikan dirinya lebih dekat dengan karyawan lainnya daripada dengan pemilik.

b.Manajemen berbeda dengan supervisi. Pada umumnya, supervisi adalah pengarahan dan pengendalian karyawan-kayawan tingkat bawah dalam suatu organisasi. Nama umum yang sering digunakan untuk posisi ini adalah mandor atau kepala tukang (foreman) dan penyedia lini pertama (first line supervisor). Sehingga supervisi merupakan bagian dari manajemen.

G.Aplikasi-aplikasi yang Berbeda dari Istilah Manajemen

Terdapat empat aplikasi yang berbeda dari istilah manajemen dapat digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan:

a.Pengelompokan pekerjaan. Manajemen dapat berarti suatu kelompok orang yang melaksanakan tugas-tugas atau fungsi-fungsi manajerial. Ini digunakan untuk menyebut seluruh individu dalam kelompok tersebut secara kolektif.

b.Seorang individu. Individu yang melaksanakan fungsi-fungsi manajerial atau bagian dari kelompok secara keseluruahan dapat disebut bagian manajemen.

c.Suatu disiplin akademik. Manajemen adalah suatu bidang spesialisasi akademik, atau suatu bidang studi.

d.Suatu proses. Manajemen juga merupakan suatu proses, karena mencakup pelaksanaan suatu rangkaian tipe-tipe khusus kegiatan atau fungsi.

H.Fungsi – Fungsi Manajemen

Pada hakekatnya fungsi-fungsi di atas dapat dikombinasikan menjadi 10 fungsi yaitu :

1.Forecasting (ramalan) yaitu kegiatan meramalkan, memproyeksikan terhadap kemungkinan yang akan terjadi bila sesuatu dikerjakan.

2.Planning (perencanaan) yaitu penentuan serangkaian tindakan dan kegiatan untuk mencapai hasil yang diharapkan.

3.Organizing (organisasi) yaitu pengelompokan kegiatan untuk mencapai tujuan, temasuk dalam hal ini penetapan susunan organisasi, tugas dan fungsinya.

4.Staffing atau Assembling Resources (penyusunan personalia) yaitu penyusunan personalia sejak dari penarikan tenaga kerja baru. latihan dan pengembangan sampai dengan usaha agar setiap petugas memberi daya guna maksimal pada organisasi.

5.Directing atau Commanding (pengarah atau mengkomando) yaitu usaha memberi bimbingan saran-saran dan perintah dalam pelaksanaan tugas masing-masing bawahan (delegasi wewenang) untuk dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

6.Leading yaitu pekerjaan manajer untuk meminta orang lain agar bertindak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

7.Coordinating (koordinasi) yaitu menyelaraskan tugas atau pekerjaan agar tidak terjadi kekacauan dan saling melempar tanggung jawab dengan jalan menghubungkan, menyatu-padukan dan menyelaraskan pekerjaan bawahan.

8.Motivating (motivasi) yaitu pemberian semangat, inspirasi dan dorongan kepada bawahan agar mengerjakan kegiatan yang telah ditetapkan secara sukarela.

9.Controlling (pengawasan) yaitu penemuan dan penerapan cara dan peralatan untuk menjamin bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan.

10.Reporting (pelaporan) yaitu penyampaian hasil kegiatan baik secara tertulis maupun lisan. Proses pelaksanaan kegiatan manajemen, maka fungsi manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan, dan pengawasan. Ini adalah fungsi-fungsi ke dalam perusahaan, sedang fungsi manajer ke luar perusahaan adalah :

a.Mewakili perusahaan dibidang pengadilan.

b.Ambil bagian sebagai warga negara biasa.

I.Penutup
Demikianlah makalah kami dengan judul Pengantar Manajemen untuk mata kuliah Manajemen. Semoga memberikan manfaat bagi kami serta pembacanya. Apabila ada kesalahan kami mohon maaf yang sebesar – besarnya.



DAFTAR PUSTAKA
Handoko, Hani. Manajemen. Yogyakarta: BPFE, Cet. IX, 2008, hlm. 6
_____________. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Liberty, 1985
Robert N. Anthony & Vijay Govindarajan, Management Control System. Jakarta: PT. Salemba Empat, 2005
Peter F. Drucker, Managing for Result. New York: Harper & Row, 1964
Luther meGulick, “Management is a Science”, Academy of Management Journal, Vol. 8, No. 1., Maret 1965,

Read more »