Faris Pasha Firdaus ( Janatun Firdaus )

Jumat, 23 Maret 2012

JEBAKAN FORMALISASI SYARI'AH



Paket formalisasi syari’at dan Khilafah Islamiah atau “ Negara Tuhan “ setidaknya telah berhasil membentuk opini publik muslim Indonesia sebagai suatu nilai ajaran Islam yang sempurna yang wajib di perjuangkan dengan berdarah – darah. Sebagai solusi terakhir dan terbaik atas kegagalan sistem “ kafir “ Barat atau sistem atheis Soviet. Semua ajaran di luar formal syari’at dalam paradigma ini dituduh tidak sesuai dengan prinsip – prinsip fundamental Islam. Bahkan, dibilang sebagai sistem sesat yang menyengsarakan. Pengikut ajaran diluar formal syari’at adalah kafir, murtad, pengacau dan melawan islam. Serta halal untuk pertumpahan darah dan menghilangkan nyawanya.

Demikian itu sering kita dengar dari pendapat sempit berbagai oknum golongan kanan Islam garis keras ( Islam politik ) atau kasus yang akhir – akhir ini masih hangat adalah gerakan para aktivis Negara Islam Indonesia ( NII ) yang melakukan pencucian otak serta aksi bunuh diri para teroris yang mengatasnamakan Islam.

Setelah dilakukan penelusuran dark side sejarah, ditemukan bahwa kanan Islam adalah ideologi Islam politik yang menjadi aktor devil’s game bersama Amerika Serikat untuk menghancurkan Uni Soviet. Einsenhover, presiden AS, menjalin kemesraan politik dengan raja Saud, Saudi Arabia. Einsenhover juga mengkampanyekan kepada negara – negara Timur Tengah lain akan diberi bantuan dana dan suplai senjata tempur bagi negara Timur Tengah yang mau bersama Amerika melawan Soviet. Koalisi “ permanen “ keduanya memberikan semangat bagi Saudi untuk memobilisasi gerakan kanan Islam militan dalam jumlah besar dengan komando teologis. Yakni, agama atau dalih formal syari’at Islam dijadikan legitimasi dalam menggerakan masa militan demi menghancurkan kekuatan – kekuatan sosialis dan pro nasionalisme dibelahan negara manapun.

Komando politik teologis ini sangat hebat karena dilegitimasi oleh payung “ Negara Tuhan “ dan memperjuangkan “ Mandat Tuhan “ lewat formal – formal syari’at demi mendirikan imperium Khilafah Islamiyah dunia.

Gerakan pejuang formalisasi syari’at dan Khilafah Islamiah di Indonesia merupakan strategi politik ( politisasi ) agama demi mencapai tujuan yang hendak di capai oleh gerakan kanan Islam. Yakni, penguasaan wilayah Indonesia menggunakan jalur ideologi ekstrim.

Ironis, sungguh gerakan ini sangat bertentangan dengan nilai – nilai negara Pancasila yang sangat menghormati dan toleran terhadap multi perbedaan. Kanan Islam, yang menghembuskan virus anti pluralisme agama jika dibiarkan saja, dalam suatu masa akan meruntuhkan kesatuan dan persatuan Indonesia yang di bangun atas dasar ikatan multi agama, kepercayaan, bukan penganut aliran kepercayaan ( “ atheis “ ), adat, suku, warna kulit, dsb.

Kontra Formalisasi Syari’at

Ormas Islam terbesar di Indonesia, baik NU atau Muhammadiyah ikut bersuara lantang menentang upaya pendirian Khilafah Islamiah dan formalisasi syari’at di Indonesia. karena formalisasi syari’at dan program khilafah sangat berlawanan dengan semangat pendirian NKRI.

Padahal sangat jelas, tidak ada konsep Islam tentang negara. Syari’ah yang di bawa Muhammad saw tidak pernah mengkhususkan konsep apa yang cocok dan baku tentang negara Islam. K.H Abdurahman Wahid ( Gus Dur ) berargumen, Islam tidak mengenal pandangan jelas dalam pergantian kekuasaan. Contohnya, tatkala nabi Muhammad saw wafat, sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin menggantikan Muhammad, sehingga umat terhindar dari perpecahan. Beda dari yang awal, sebelum Abu bakar meninggal, beliau menunjuk Umar bin Khatab sebagai penggantinya kelak.

Proses kedua ini lewat penunjukan ( mandat ) langsung dari pemimpin sebelumnya. Kemudian, saat Umar diambang kritis setelah ditikam Abu Lu’luah, ia meminta ditunjuk dewan pemilihan yang terdiri dari tujuh orang ( termasuk anak Umar, Abdullah; di syaratkan tidak boleh dipilih jadi pemimpin ) untuk memilih pemimpin pengganti Umar. Kesepakatan tim ini menunjuk Utsman bin Affan. Selanjutnya, Utsman di ganti Ali bin Abi Thalib. Untuk mengganti Ali, Abu Sufyan telah mempersiapkan anak cucunya supaya menjadi pemimpin setelah Ali. Sejak itu, muncullah kerajaan atau khilafah, seperti Utsmaniyah yang raja – rajanya berdasarkan anak keturunan “ darah biru “ sang khalifah. ( Islam ku, Islam anda, Islam Kita: K.H Abdurahman Wahid ).

Lanjut Gus Dur, mesti ada adagium La Islama Illa bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa bi Tha’ah ( Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan ). Itu tidak menunjukan bahwa kepemimpinan atau pemerintahan wajib berdasarkan Khilafah Islamiah. Tetapi, kepemimpinan itu adalah penegakan dan perlindungan atas penegakan perintah Islam dan larangannya.

Formalisasi Syari’at Bukan Nilai Tetapi Strategi Menjajah

Kadang kita terlalu lugu memahami fenomena gerakan keagamaan yang mengusung isu kampanye tersebut. Misalnya, formalisasi syari’at yang menjadi satu paket dengan promosi khilafah / daulah islamiah. Dengan lugu, kampanye itu di anggap benar – benar sesuai tata nilai keislaman yang ada pada masa Rasul saw dan sahabat. Terbuai iming – iming bahwa formalisasi syari’at dan khilafah adalah solusi terakhir untuk menyelesaikan problem bangsa. Masyarakat Islam masih mudah diperdaya menggunakan segala sesuatu yang di beri simbol Islam atau Islami. Logikanya, segala yang Islami akan memudahkan jalan hidup dan merupakan tiket kilat khusus masuk surga.

Formalisasi syari’at bukan nilai atau ajaran tentang kebaikan dan solusi masalah bangsa dan keumatan. Melainkan, jebakan !!! nama “ jebakan “ adalah senjata rahasia (bom) dalam peperangan fisik, ketika di injak atau di tekan maka akan menimbulkan ledakan. Akibatnya, salah satu bagian tubuh hilang, bahkan lebih buruk nyawa melayang. Demikian halnya jebakan formalisasi syari’at, ketika Indonesia menerapkan formalisasi syari’at sama halnya menginjak jebakan dalam peperangan yang dipasang musuh. Apa konsekuensinya jika Indonesia menginjak jebakan itu ?

Pertama, bertentangan dengan pluralisme beragama. Yakni, pengakuan bahwa di dalam setiap agama ada ajaran kebenaran dan kemaslahatan yang ditujukan untuk seluruh umat manusia.

Kedua, akan memunculkan gejolak hebat dari setiap pemeluk agama yang beda ketika menginginkan penerapan syari’at agamanya ( Kristen, Hindu, Budha, dll ). Di Indonesia, masing – masing merasa memiliki Indonesia ( dalam arti cauvinis ) sehingga berhak menerapkan syari’at agama atau kepercayaannya. Jika terjadi, mampu memobilisasi gelombang pertikaian dan pemaksaan hukum agama tertentu agar diterima agama lain. Mengingat nalar Indonesia yang oposisi biner ( kebenaran ada pada satu sisi ), maka demi memperjuangkan kebenaran, lainnya salah dan perlu dihabisi. Hasilnya, rakyat Indonesia hidup dalam kecamuk, pertikaian, dan perang saudara.

Ketiga, Ideologi Wahabi yang mencengkeram kuat, lewat formalisasi syari’at dapat dijadikan legitimasi menggerakan masyarakat Indonesia berlaku sesuai kehendak otoritas Wahabi. Jelasnya, Wahabi adalah gerakan agama yang bermesraan dengan politik, maka masyarakat Indonesia hanya dijadikan tumbal demi mendapatkan target politik dari penguasa Wahabi.

Keempat, dampak paling buruk setelah poin – poin sebelumnya dari jebakan formalisasi syari’at, hancurlah bangunan keutuhan NKRI yang didirikan foundhing mothers dan foundhing fathers kita dari landasan filosofis tinggi. Walaupun multi agama, ras, suku, golongan dan warna kulit, persatuan dalam wadah NKRI dan Pancasila sebagai dasarnya tetap utuh. Kemudian di ganti dengan bentuk khilafah islamiah dan formalisasi syari’at yang sejak awal pendirian ini penuh kebusukan.

Menyikapi Gerakan Formalisasi Syari’at

Umat Muslim Indonesia tidak perlu reaksioner atau radikal atas upaya Islamisasi Indonesia. Karena, reaksi berlebihan berarti upaya para aktivis Islam Kanan berhasil mendapat respon. Yang harus dilakukan oleh Muslim Indonesia adalah, pertama konsolidasi muslim pribumi agar hati – hati dengan ajaran dari luar yang akan merusak ciri khas beragama di Indonesia. Sebagai gerakan transnasional, para propaganda formalisasi syari’at akan kehabisan tenaga dan biaya kalau di respon sewajarnya saja.

Kedua, sikap moderat dan jejeg ( tawasuth wal i’tidhal ) merupakan posisi proporsional yang sejak dulu sudah di kembangkan para pendiri bangsa. Terbukti dengan tercetus gerakan non – blok dalam Konferensi Asia – Afrika di Bandung 1995 dan politik luar negeri bebas aktif. Pembelaan terhadap salah satu blok, sama halnya menjerumuskan Indonesia ke dalam perangkap permainan politik dunia.

Ketiga, perlu di ingat bahwa tidak ada paksaan dalam memilih agama. Tuhan pun tak memaksa, terlebih penerapan formalisasi syari’at tidak ada alasan untuk di terapkan secara formal dan paksa di Indonesia.

1 komentar:

  • ANNAS says:
    26 Mei 2012 pukul 03.12

    Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

Posting Komentar