Faris Pasha Firdaus ( Janatun Firdaus )

Jumat, 23 Maret 2012

Logika Industri Sastra Islami


Sastra islami telah di rekayasa mengikuti pasar logika. Akibatnya, kelatahan massal tidak bisa di tampik. Sastra indonesia mengalami guncangan luar biasa setelah novel Ayat – Ayat Cinta ( AAC ) karya Habiburahman al – Shirazy ( 2004 ) “ merajai “ pasar. Sejak itulah sastra islami ramai – ramai di bincang dalam horizon sastra indonesia.

Kemudian secara sadar menempatkan AAC sebagai bagian dari karya sastra yang lahir dari koridor Islam. Kegandrungan pembaca pada AAC telah menimbulkan kelatahan berkepanjangan yang kemudian masuk dalam jejaring pasar.

Meski AAC bukanlah jabang bayi karya sastra yang kini di elu – elukan sebagai sastra islami itu, tapi kehadirannya adalah dentuman besar yang menggairahkan fiksi berlatar Islam. Jauh sebelum AAC menggetarkan jagad kesusasteraan Indonesia yang penjualannya mencapai 300 ribu eksemplar lebih, bahkan di tonton lebih dari 3 juta pasang mata ketika di filmkan oleh Hanung Bramantyo.

Spiritual dan Logika Pasar

Kekeringan spiritualitas manusia modern telah memberi ruang yag lapang bagi sastra Islami. Kita tidak bisa menampik bahwa manusia terkini lebih memilih mempelajari agama dan menuruti perburuan spiritual lewat buku – buku ringan seperti novel. Daya magnet novel Islami begitu kuat karena corak pembahasan pesan – pesan agama disampaikan secara sederhana, ringan dan elastis. Berbeda dengan buku – buku agama yang cenderung ilmiah, apalagi kitab – kitab klasik, yang kini hanya dipelajari oleh segelintir orang.

Adapun ruang yang di maksud adalah pasar. Bahwa pasar telah memberi tempat yang luas bagi tumbuh kembangnya karya sastra macam itu, karena animo masyarakat sangat tinggi terhadapnya. Lantas jaring – jaring pasar menciptakan skema yang jelas untuk membuat logika industri terkait sastra islam yang telah masuk dalam tataran mass culture ( budaya massa ).

Logika industri sangat mempengaruhi perkembangan sastra islam. Pasar telah menancapkan strategi, merekayasa bentuk, dan memapankan gaya dan ( bahkan ) membuat kisi – kisi atas isi karya – karya sastra. Pada akhirnya pasar mendorong penyesuaian bentuk karya sastra islami agar diterima dan diapreasiasi pembaca demi meningkatkan laba industri.

Latah dan Monoton

Pasar dan kegandrungan pembaca yang luar biasa pada sastra islami telah melahirkan kelatahan yang luar biasa pula. Banyak penulis muncul dengan membawakan tema seragam. Bahkan alur cerita pun banyak yang hampir mirip.

“ Cinta “ hampir menjadi satu – satunya tema yang di angkat. Hal itu dapat dilihat dari judul – judulnya ; Ayat – Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Dalam Perjamuan Cinta, Dalam Sujud Cinta, Takdir Cinta, Perempuan Suci, Lapaz Cinta, Berselimut Surban Cinta, Mukjizat Cinta, Bismillah ini Tentang Cinta, dan Bait – Bait Cinta. Itu baru perwakilan saja, sebab ada ratusan buku berjudul cinta yang sampul depannya kebanyakan bergambar perempuan ( berjilbab atau bercadar ).

Tema cinta yang dihadirkan pun terasa dangkal atau pelan – pelan secara alami mengalami pendangkalan. Karena cinta di dalamnya sebatas manifestasi perasaan manusia yang berlainan jenis. Cinta yang harus memilih diantara pesona kelelakian atau keperempuanan. Ini bertolak belakang dengan cinta yang disampaikan penyair islam klasik seperti Jalaludin Rumi, Rabi’ah al – Adawiyah ataupun ibn ‘Araby yang mengisahkan bait – bait cinta berisi spiritualitas fundamental manusia dalam “ mencumbu “ Tuhan.

Padahal, cinta yang tidak disadari tapi pelan – pelan menjadi ghaib adalah cinta yang bersifat kemanusiaan universal dan cinta kasih sesama. Sayang, fiksi islam belum menyentuh tataran itu. Yang berusaha dikedepankan hanyalah bagaimana mencitrakan tokoh dengan nuansa islam yang paripurna. Hingga yang tampak tak lebih dari tujuan ingin mengatakan “ inilah orang islam “ melalui tokoh – tokoh yang digambarkan.
Jika mau jujur, sebenarnya spiritualitas tak pernah hilang dari karya sastra manapun. Fiksi umumpun tak lepas dari pesan – pesan religiusitas.

Begitu juga, novel – novel umum pun banyak berbicara soal islam. Maka fatal sekali bila novel yang secara spesifik tidak menampilkan keislaman verba, di klaim sebagai sastra non islami. Hampir semua karya sastra mengusung moralisasi yang mengajarkan kemanusiaan.

Di sisi lain, kelatahan membuat kelahiran fiksi islami kentara dengan kesan monoton. Baik cara penyampaian pesan maupun pengisahan. Pada dasarnya novel – novel islami yang ada sampai saat ini lebih bercorak menerjemahkan konflik seorang tokoh dengan interpretasi al - Quran atau al – Hadits. Setiap jengkal perjalanan hidup tokoh tak bisa lepas dari sandaran dalil – dalil naqli. Hingga disitu, pembaca akan lebih banyak menemui terjemahan atau penafsiran al – Quran dan al – Hadits daripada narasi cerita yang di bangun.

Kemudian ada semacam “ kegagalan “ cara menyampaikan pesan – pesan islam yang selalu saja hendak di visualisasikan secara verbal dalam novel – novel islami. Kegagalan itu adalah bentuk mengkomunikasikan nilai – nilai estetik sastra dalam bentuk dangkal yang tak ubahnya seperti ceramah. Kesan yang timbul adalah “ menggurui “. Padahal, kesejatian pesan sebuah karya sastra adalah mengajak manusia untuk merenungi kembali segala nilai yang telah berlaku. Sedangkan “ menggurui “ jauh sekali dalam konteks kesadaran pembaca untuk berkontemplasi.

Ambiguitas pun muncul jika kita mendebatkan soal nilai. Bahwa, seolah – olah baik dan buruk hanya dapat di timbang dengan neraca yang bernama agama. Nurani fitriah yang melekat secara kodrati pada setiap orang tak terlalu dipakai. Daya kritis kemanusiaan terlalu dibekukan oleh doktrinasi cerita yang selalu “ di islamkan “.

Jejak Sastra Islam

Benar apa yang di tulis Yasraf Amir Piliang dalam esainya Sastra dan E(ste)tika Massa ( 2008 ), bahwa kalangan kritikus sastra sangat khawatir “ industri budaya “ yang lahir atas nama karya sastra berbasis pada logika industri. Karena karya sastra atau produk – produk kebudayaan lainnya tidak bisa di seragamkan sebagai barang industri.

Lantas, apakah konsep sastra islami benar – benar pas disematkan untuk karya – karya macam di atas ?
Selama ini yang terjadi justru term sastra islami mengikuti logika industri, bukan logika kebudayaan itu sendiri. Kelatahan fiksi islami adalah fakta yang tidak bisa di tampik yang nyata – nyata membuat banyak penulis hadir di dalam ruang itu hanya karena mengikuti arus pasar semata.

Sebenarnya sastra bercorak Islam sudah membumi sejak era kelahiran sastra melayu sebagai awal perkembangan kesusasteraan Indonesia. dalam hal ini bisa di rujuk karya – karya Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Fanshuri atau Amir Hamzah.

Menurut esainya Hamdy Salad dengan judul Narasi Sastra Religius ( 2008 ), ada tiga unsur yang tak terpisahkan dari etik profetik. Yaitu amar ma’ruf ( humanisme ), nahyi munkar ( Liberasi ) dan iman billah ( transendensi ). Amar ma’ruf atau humanisme memuat pesan untuk memanusiakan manusia sesuai peran budaya yang dijalankan. Nahyi munkar atau liberasi adalah pesan pembebasan manusia dari penindasan sistem budaya yang sedang berlangsung di masyarakat. Adapun iman billah meliputi perlawanan kreatif yang bersifat religius dan spiritual terhadap ideologi budaya bersifat sekuler.

Selain sastra profetik, sastra sufistik juga memperkaya definisi tentang sastra islam. Esensi sastra sufistik agak berbeda dengan sastra profetik. Tak sekadar memusatkan penalaran pada humanisme, liberasi, dan transendensi. Melainkan meletakan logika sastra pada unsur estetik yang bersifat transenden. Transendensi dalam ukuran sufistik adalah proses identifikasi ekspresi spiritual ( ruhaniyah ) manusia. Ada dua konteks transendensi yang terkandung dalam sastra sufistik : teologis ( Hablum minallah ) dan kultural ( Hablum minannas ).

Dengan demikian sastra islami yang berkembang saat ini perlu di kontekstualisasikan dengan term awal sastra islam yang telah lebih dulu menjadi induk. Maka sudah selayaknya penggerak sastra islami – industri dan penulis – termasuk pembaca lebih menimbang otentisitas karsa yang berlandaskan nilai – nilai islam, bukan sekedar tampilannya, yang akhirnya cenderung picisan. Karena bisa jadi sastra islami yang marak saat ini adalah sastra yang hanya menyerupai sastra islam, bukan sastra islam itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar