Faris Pasha Firdaus ( Janatun Firdaus )

Selasa, 26 Juni 2012

Quo Vadis Lumpur Lapindo


Satu windu lebih sudah bencana lumpur Lapindo melanda rakyat Porong Sidoarjo. Tentunya pasca bencana selama lima tahun ini, lumpur Lapindo telah memberikan berbagai kisah mengharukan dan menyayat hati para korban yang mengalaminya.

Selama itu pula banyak pihak yang berspekulasi dengan berbagai argumen demi menemukan sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, faktanya semua usaha tersebut belum memberikan hasil yang positif dan signifikan, bahkan cenderung mengecewakan pihak korban yang selama ini telah dirugikan oleh PT Lapindo Brantas.Lebih ironis lagi ternyata selama bencana lumpur Lapindo melanda rakyat Sidoarjo, para pihak yang seharusnya bertanggung jawab menyelesaikan masalah ini lebih cenderung bersifat politis dalam menyelesaikannya.

Adanya faktor politis dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab itu berawal dengan munculnya berbagai istilah dan nama yang digunakan dalam membahas kasus Lapindo ini. Pertama, istilah untuk keluarnya lumpur yang terjadi di Porong Sidoarjo pada awalnya dikenal dengan Lumpur Sidoarjo, yang kemudian disingkat menjadi LUSI.

Entah siapakah yang telah memberikan nama tersebut. Namun yang pasti, karena istilah tersebut akan memberikan makna dan faham yang salah, maka kemudian media massa “sepakat” merubah nama Lumpur Sidoarjo dengan mempopulerkan menjadi Lumpur Lapindo. Sebab istilah Lumpur Sidoarjo seakan memberikan persepsi bahwa tempat terjadinya bencana lumpur lebih penting daripada penyebab terjadinya bencana tersebut. Pada intinya penulisan tersebut telah menomorduakan penyebab bencana yaitu PT Lapindo Brantas. Sehingga kesan yang terjadiadalahini lumpur orang-orang Sidoarjo, bukan lumpurnya Lapindo.

Sementara itu, bila menggunakan penulisan lumpur Lapindo lebih mengutamakan penyebab terjadinya bencana, sehingga menekankan bahwa bencana tersebut merupakan sesuatu yang disebabkan oleh kelalaian manusia, dalam hal ini adalah PT Lapindo.

Kedua, pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus Lapindo memandang bahwa lumpur di sidoarjo adalah sebuah fenomena alam. Mereka memberikan argumen bahwa siapapun yang menjalankan bisnis pengeboran minyak disitu akan mengalami peristiwa yang sama. Hal ini semakin menambah bukti akan siapakah pihak yang memunculkan istilah LUSI dalam lumpur Lapindo ini.

Padahal banyak yang menilai kasus ini berawal dari keinginan menghemat biaya operasional PT Lapindo dengan tidak memasang casing (selubung bor), sehingga dalam pengeboran yang dilakukan Lapindo tidak sesuai dengan standar keamanan yang telah ditetapkan.

Sebagai referensinya adalah hasil pertemuan International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center di Afrika Selatan pada tanggal 26-29 Oktober 2008 yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menyebutkan 42 suara ahli berpendapat penyebab pengeboran, 3 suara menilai karena gempa Yogyakarta, sedangkan 13 suara menganggap kombinasi antara kedua penyebab tersebut dan 16 suara tidak memberikan pendapat.

Ketiga, bencana lumpur Lapindo di asumsikan sebagai bencana nasional seperti halnya gempa bumi di Yogyakarta atau bencana Tsunami yang terjadi di Aceh. Padahal dari segi penyebab dan kronologinya saja sudah sangat jauh berbeda. Sehingga implikasi dari persepsi ini adalah adanya kucuran dana APBN untuk menambal dan mengganti kerugian yang dialami masyarakat Sidoarjo.

Tentu ini sangat menguntungkan dari segi finansial pihak PT Lapindo Brantas yang notabene adalah anak perusahaan orang terkaya Indonesia ( versi Forbes = US$ 5,4 Miliar ) yaitu Aburizal Bakrie yang juga seorang mantan Menkokesra pada tahun 2007 lalu. Seharusnya dana APBN itu didistribusikan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, mengingat masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan, hidup jauh dari fasilitas yang memadai serta masih banyaknya anak Indonesia yang tidak sekolah akibat tidak ada dana untuk membiayainya. Sungguh sangat tidak logis !!!

Bagaimana tidak, resiko kerugian dan kesalahan bisnis yang dilakukan oleh personal harus ditanggung oleh dana APBN. Sehingga dengan politik tersebut secara tidak langsung pada hakikatnya telah terjadi korupsi terhadap uang negara secara sistematis dan struktural sehingga pihak publik dibuat tidak sadar dan merasa dirugikan.

Keempat, dibentuknya badan TP2LS ( Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Lapindo ) tidak bersikap objektif dalam menjalankan tugasnya. Bahkan lebih cenderung berpihak dan menguntungkan PT Lapindo, dengan kata lain badan TP2LS ini lebih cocok dan relevan disebut sebagai kepanjangan tangan Abu Rizal Bakrie.

Sebagai contohnya adalah TP2LS melakukan manipulasi data dengan hanya melaporkan 4 Desa yang terendam dari jumlah keseluruhannya adalah 11 Desa. Berarti terdapat 7 Desa yang tidak dimasukan oleh TP2LS dalam peta desa yang terkena dampak lumpur Lapindo. Terlebih dalam mengganti biaya kerugian pun masih banyak warga yang merasa dirugikan, karena adanya ketidakadilan antara satu desa dengan desa lain.

Ditambah adanya peraturan yang diterapkan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineraluntuk mengadakan uji seismik dalam menentukan daerah yang terkena dampak lumpur Lapindo. Padahal menurut ahli geologi dari Institut Teknologi Sepuluh November ( ITS ), Andang Bachtiar mengungkapkan uji seismik akan memakan banyak waktu dan biaya. Jelas hal ini akan membuat tergantungnya nasib rakyat Sidoarjo berlarut – larut dalam duka dan kesedihan. Lengkap sudah penderitaan rakyat Sidoarjo tersebut !!!

Selain dari realita diatas, lumpur Lapindo telah memberikan dampak negatif dalam kelangsungan hidup dan nasib masyarakat Sidoarjo. Mulai dari faktor kesehatan, finansial, psikologi hingga masa depan masyarakat Sidoarjo kedepan.

Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Kasus Lumpur Lapindo yang ke lima tahun ini, tulisan ini hanya ingin menyampaikan sebuah kritikan serta mencoba memberikan kesdaran kepada kita semua terutama pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas dampak yang telah mereka lakukan, agar adanya kejelasan mengenai proses penanggulangan, kejelasan nasib rakyat yang menjadi korban.

Cukup sudah air mata yang mengalir keluar dari jeritan saudara sebangsa kita yang ada di Sidoarjo. Cukup sudah mereka yang menanggung akibat dari kelalaian karena kepentingan pribadi seseorang. Adakah pihak yang harus bertanggung jawab itu masih mempunyai jiwa kesatria dan rasa kemanusiaan yang masih waras ???

Tulisan ini menjadi salah satu artikel terbaik dalam lomba Artikel 5 Tahun Kasus Lumpur Lapindo.
http://www.satuportal.net/content/quo-vadis-lumpur-lapindo-lomba-artikel-5-thn-kasus-lapindo

0 komentar:

Posting Komentar