Faris Pasha Firdaus ( Janatun Firdaus )

Selasa, 26 Juni 2012

Wisuda dan Kegalauan Mahasiswa


Momen wisuda dan kelulusan menjadi saat yang sangat ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa, bahkan sehari setelah mereka dinyatakan diterima di universitas. Momentum wisuda memang menjadi daya tarik sekaligus sumber euforia yang emosional bagi mahasiswa, karena di saat itulah perjuangan bertahun-tahun diapresiasi, pergulatan akademis diganjar dengan penghargaan, dan decak kagum serta riuh rendah tepuk tangan milik kita seharian.

Tak jarang, momen kelulusan disambut secara meriah dan bahkan berlebihan, tidak hanya sebatas bentuk syukur namun juga pertarungan prestise keluarga. Maka jangan heran ketika tiba masanya kelulusan, keluarga di kampung menyambutnya dengan suka cita luar biasa, hewan ternak dan hasil panen dikorbankan untuk mengundang teman dan tetangga sekampung merayakan kelulusan satu orang dari universitas di kota. 

Memang sama sekali tidak salah menjadikan momen kelulusan sebagai hura-hura yang penuh suka cita. Namun ketika ditilik lebih cermat lagi, bukankah ketika universitas meluluskan mahasiswa, artinya bertambah pula beban bangsa Indonesia menampung pengangguran terbuka yang intelek? Data menunjukkan, pengangguran intelektual (terpelajar) di Indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun. Pada 2010 saja, pengangguran intelektual naik 15,71 persen dari tahun sebelumnya menjadi 1.142.751 orang, yang terdiri dari lulusan diploma 441.100 orang dan sarjana 701.651 orang. (Kompas, 23-9-2010).

Penyebabnya tidak lain adalah terbatasnya / semakin menurunnya daya serap sektor formal terhadap tenaga kerja dan ketidaksesuaian antara pendidikan formal serta kebutuhan pasar.

Ganti Status

Terkadang, momen kelulusan disambut pula dengan kegalauan si mahasiswa, mau ngapain sehabis lulus? Status mahasiswa terkadang memang memberikan banyak keuntungan, hidup masih ditanggung orang tua, fasilitas kampus dapat digunakan dengan leluasa, bahkan diskon makan hingga karaokean bertebaran. Tetapi setelah lulus, tentu saja fasilitas itu seperti tercerabut dari kita. Setelah topi toga tanda kelulusan dipakai, status mahasiswa tentu berganti, dan untuk sementara status yang terpaut adalah ”pengangguran” sebelum mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.

Paradigma yang berkembang selama ini di masyarakat adalah pendidikan tinggi merupakan institusi yang diyakini menjadi jembatan untuk melakukan mobilitas vertikal dan tiket menuju kehidupan yang lebih baik. Tak ayal, masyarakat umumnya menyekolahkan anaknya tinggiñtinggi sampai universitas adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih mentereng dan umumnya berseragam, seperti orangñorang kantoran dan para PNS.

Padahal lapangan pekerjaan di sektor formal umumnya tidak banyak bertambah dan cenderung statis dan berbanding terbalik dengan cetakan sarjana dari universitas yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Paradigma inilah yang seharusnya diubah, mahasiswa selain peranannya sebagai agent of change di mata masyarakat juga harus memiliki sensitivitas untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, mengubah perspektif dari mulanya job seeker menjadi job provider bagi lingkungan di sekitarnya.

Entrepreneur

Bukan lagi menjadi rahasia bahwa mahasiswa merupakan entitas masyarakat yang sangat kreatif, inovatif serta problem solver di lingkungannya, wirausaha menjadi pilihan yang amat tepat untuk memulai mengubah perspektif tersebut.

Telah banyak kasus sukses mahasiswa yang berhasil menjadi pengusaha yang beromzet hingga miliaran rupiah, bahkan sebelum mereka lulus dari perguruan tinggi. Mulai dari usaha laundry, susu murni bahkan hingga jajanan ”ndesa” ketela telah berubah menjadi sumber pundi ñ pundi pengahasilan bagi para pengusaha muda kreatif yang mampu melihat peluang dan pasar.

Hal tersebut kiranya cukup menjadi motivasi bagi mahasiswa - mahasiswa lain yang juga berkeinginan menjadi orang berduit yang tidak melulu menggantungkan diri pada pemerintah ataupun bos perusahaan. Tak selamanya mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi harus berhasil masuk dalam bursa kerja sektor formal, berkecimpung di dunia usaha dan industri kreatif juga menjadi pilihan yang cukup keren. Ingat, untuk menjadi negara yang maju setidaknya dua persen dari total penduduk di sebuah negara harus menjadi entrepreneur, sedangkan untuk mencapai angka itu Indonesia masih sangat jauh. Untuk itu perlu sinergi banyak pihak untuk mampu mengubah mindset orang yang mulanya rajin mencari kerja menjadi mindset orang yang sibuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Semoga kita termasuk orang-orang yang bermanfaat bagi lingkungan kita dan bukan malah menjadi beban bagi mereka.

Tulisan ini di muat di media cetak Suara Merdeka 19 Mei 2012

0 komentar:

Posting Komentar