Faris Pasha Firdaus ( Janatun Firdaus )

Selasa, 26 Juni 2012

Rekonstruksi Mindset Pelaksanaan Ujian Nasional



Pelaksanaan Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh negara secara berjenjang di mulai dari Siswa Menengah Atas ( SMA ) diseluruh Indonesia dilaksanakan hari ini. Banyak kalangan yang mempersiapkan diri jauh – jauh hari dalam menyambut hajat pendidikan nasional tersebut. Mulai dari pihak sekolah, orang tua, siswa, hingga para pejabat yang sibuk menghitung taksiran anggaran yang harus dikeluarkan, serta berbagai strategi Menteri Pendidikan untuk menjaga semaksimal mungkin kesucian pelaksanaan UN dari berbagai kecurangan dan pelanggaran.

Fenomena diatas adalah sesuatu yang wajar, mengingat Ujian Nasional adalah kegiatan yang penting sebagai tolak ukur dan barometer pemerintah atas kelulusan dan kesuksesan seorang siswa secara kognitif dalam melaksanakan kegiatan belajar selama tiga tahun di sekolah. Pantas bila selama ini diskursus tentang Ujian Nasional selalu menuai pro dan kontra serta melahirkan debatable. Karena kebijakan Ujian Nasional ini dipandang mempunyai unsur ketidakadilan serta difahami pragmatis dalam menilai standar kelulusan pendidikan siswa, hingga dinilai telah melanggar Undang – Undang Pendidikan. Terlebih rencana Kemendikbud yang akan memasukan nilai UN sebagai syarat masuk PTN yang tentu akan lebih menambah beban berat diatas pundak siswanya.

Problematika Penyelenggaraan UN

Terlepas dari berbagai masalah yang selalu lahir dalam pelaksanaan Ujian Nasional, selama ini pelaksanaan UN masih saja tercoreng oleh berbagai macam pelanggaran. Tentu kita tak bisa menutup mata dan telinga terhadap fenomena UN pada tahun – tahun sebelumnya tentang bocornya soal hingga jual beli jawaban yang melibatkan siswa, guru, sekolah hingga penyelenggara UN sendiri. Menurut penulis tentu hal itu adalah sebuah kenistaan jika UN hanya menjadikan sistem pendidikan kita orientasinya berkutat pada formalitas kelulusan, tetapi menafikan kecerdasan, kejujuran serta kemampuan siswanya. Ujian Nasional sejatinya jangan dipersepsi secara sempit hanya untuk memperoleh formalitas kelulusan. Apalagi pihak sekolah hanya ingin mendapatkan pujian atau reward dari pemerintah bila semua siswanya lulus UN. Mengapa demikian ?

Sebab hal tersebut akan melahirkan tendensi budaya pragmatis dan instan dalam dunia pendidikan. Pada akhirnya, efek dari budaya pragmatis ini akan memproduksi sebuah mindset yang melegalkan segala cara walaupun itu melanggar kode etik pendidikan dan mengkotori kesucian moral bangsa. Jika sudah demikian, praktek praktek pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian Nasional akan menjadi sebuah klise yang akan selalu diputar setiap tahun secara kontinuitas. Hal ini jelas akan menambah catatan hitam negeri ini sekaligus tamparan keras bagi dunia pendidikan yang seharusnya menyemai benih kejujuran, membangun moral bangsa, mendidik budi pekerti serta mengasah keluhuran martabat ternyata telah bermetamorfosis menjadi penyebab dekadensi moral bangsa. Sungguh ironis !

Perlu Adanya Rekonstruksi Mindset

Untuk mengubah sesuatu yang sudah menjadi tradisi dan membudaya memang tak semudah apa yang kita pikirkan serta kita katakan bak membalikan sebuah telapak tangan. Masyarakat sunda sering menggambarkannya dalam sebuah adagium “ Adat Kakurung Ku iga “. Namun bukan berarti kita harus menjadi seorang pengecut yang menyatakan kalah sebelum bertanding atau menyerah sebelum adanya usaha. Tentu semua itu masih bisa dirubah selama adanya konvensi serta sikap koperatif antar semua pihak yang terlibat, baik pemerintah, guru, sekolah serta penyelenggara demi menjadikan UN suci dari setiap kecurangan dan bersih dimasa depan.

Sebab sampai saat ini, ketika pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir kecurangan serta menutup rapat – rapat pintu pelanggaran, disisi lain paradigma tentang image “ gengsi “ bila siswanya tidak lulus masih hidup serta mendarah daging dikalangan para penyelenggara sekolah. Oleh karena itu, kiranya penting untuk membangun kembali mindset serta paradigma semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan UN tersebut, sehingga bisa segaris lurus dan berjalan secara harmonis. Sudah saatnya pendidikan kita dibangun diatas pondasi kejujuran serta nilai – nilai akhlakul karimah.

Jadikan kejujuran ini cerminan karakter bangsa yang beragama. Jangan jadikan kejujuran sebagai barang mahal hingga tergolong langka dinegeri ini. Sudah cukup catatan hitam itu terus diukir dalam lembaran – lembaran kehidupan masa lalu. Apakah kita akan terus menjadikan generasi penerus bangsa sebagai generasi pecundang yang terus menghambur – hamburkan uang negara ? Lulus dalam Ujian Nasional memang penting dan berharga, namun bukan berarti akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya !

Tulisan ini di muat di Media Cetak Wawasan 24 April 2012

0 komentar:

Posting Komentar